Warga Desa: Kami Marah Dituding Miskin


Oleh Rawa El  Amady

Suatu kali di tahun 2005,  saya berkunjung ke sebuah desa di Riau, desa tersebut penghasil karet. Pada pertemuan desa, kami memperkenalkan diri sebagai tim konsultan pemerintah daerah untuk menanggulangangi kemiskinan. Ruang pertemuan desa tersebut tadinya penuh dihadiri warga. Tapi  sehabis kami memperkenalkan diri  balai desa tersebut kosong hanya aparat desa yang tersisa. Kepala desa, dengan sopan meminta maaf kepada kami, dan memberi alasan mengapa masyarakat meninggalkan kami. Warga desa di sini tidak merasa miskin, jadi mereka akan sangat marah kalau desa termasuk desa miskin.


Saya cukup gembira mendengar penjelasan tersebut, bagi saya warga desa ini punya harga diri yang membanggakan. Informasi ini tentu sangat bertolak belakang dengan berita di media massa kalau pada era reformasi ini orang berebut menjadi miskin dan bangga mendaftarkan dirinya menjadi warga miskin. Tadinya kami bermaksud tidak menginap di desa ini, karena peristiwa ini kami memutuskan tinggal seminggu di desa. Tujuannya ingin mengetahui virus apa yang menjangkiti harga diri warga.


Singkat cerita setelah satu minggu kami berada di desa, saya mendapat informasi yang betul-betul menarik. Pertama, warga desa ini telah mengetahui sejak orde baru, hingga sekarang bahwa desanya masuk sebagai desa miskin. Kedua, entah dari mana mereka tahu, program kemiskinan kabupaten, provinsi dan nasional juga masuk ke desa mereka.


Ketiga, mereka juga tahu bahwa setiap dinas di kabupaten, dinas di provinsi serta setiap kementerian di nasional juga punya program kemiskisnan yang menjadikan desanya sebagai objek program mereka. Menurut mereka lagi, selama ini mereka tidak pernah merasakan adanya program tersebut masuk ke desa mereka. Bentuk program nya hanya sekali saja bertatap muka dengan warga desa setelah itu hilang tidak ada kabar. Kalaupun ada program yang masuk ke desa, program itu berputar dilingkungan keluarga dekat kepala desa saja.


Keempat, sebagai petani karet, masyarakat di desa ini sudah berkecukupan sehingga mereka tidak pantas di sebut miskin. Memang secara prasarana kesehatan, rumah, wc, tempat mandi tidak sebagaimana rumah di kota, lingkungan social mereka memang lingkugan social desa yang belum tersentuh modernisasi. Bagi mereka secara ekonomi, dan social mereka tidak miskin. Tidak ada wrga desa mereka yang kelaparan, yang ada warga desa hidup sederhana sebagai adanya desa. Satu-satunya yang bisa disebut miskin hanya infrastruktur.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.


Seminggu berada di desa yang “ajaib ini” saya memberikan diri memberi beberapa kesimpulan tentang penanggulangan kemiskinan. Pertama, masing-masing level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota ingin jadi pahlawan bagi masyarakat desa. Ini terlihat pada masing-masing level pemerintahan tersebut berebut membuat program masuk desa agar dikatakan perhatian ke masyarakat. Mereka sendiri tidak mengerti fungsi pada levelnya masing-masing, padahal yang punya desa/ kelurahan itu adalah Kabupaten/kota.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.

Selayaknya provinsi dan pusat tidak lagi punya program sampai ke desa tetapi cukup memberi dukungan finansial, penguatan sumber daya manusia, pengawasan dan kemampuan menejemen program. Lebih baik lagi, kalau program penanggulangan masyarakat miskin ini ditangani oleh satu departemen eksofisio yang kantornya sampai ke desa sebagaimana di Afrika Selatan. Nah, masalahnya siapa yang mau memulai kalau masing-masing ketakutan akan kehilangan proyek.

Kedua,, orientasi program. Fungsi Program masih dipandang sebagai bagian dari kinerja satuan kerja, padahal fungsi program adalah penanggulangan kemiskinan. Akibatnya pola fikir yang berkembang di satuan kerja adalah yang penting ada program dan harus ada di setiap satuan kerja. Jika satuan kerja tidak mempunyai program yang bernama penanggulangan kemiskinan maka kinerjanya akan dinilai jelek. Disinilah munculnya ego sektor, orientasi proyek semata. Hasilnya tetap masih minim, masing-masing satuan kerja masih asik pada dirinya sendiri. Akhirnya program tersebut menumpuk di desa tanpa satu penataan yang terkoordinasi/sinkroni dengan baik. Program tersebut bukannya membantu desa tetapi bisa menjadi beban bagi desa. Bahkan terkesan berebut program mengatasnamakan kemiskinan.

Ketiga, sifat program masih ikramental/tambal sulam. Tampak rumah yang buruk maka dibangun rumah, tampak kurang modal diberi modal, tanpak jelek infrastruktur dibangun infrastruktur. Program belum melihat problem struktural dan problem kultural. Dalam persepsi ini, asumsi bahwa masalah kemiskinan berada di desa maka ditumpuklah uang, bantuan dan lain sebagainya ke desa. Padahal pola pikir yang ikramental tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Menyelesaikan permasalahan kemiskinan tidak bisa hanya dengan menyelesaikan symptoms - nya saja, tetapi sumber masalahnya harus diselesaikan. Untuk apa program sebanyak itu, tapi masalah kemiskinan tidak terselesaikan? Bukankah lebih baik satu program yang terintegrasi, fokus dengan target yang jelas, dimana semua departemen, semua satuan kerja, semua level pemerintahan berada bergandengan tangan pada satu program tersebut.

Terkesan Negara tidak mau mengurangi kemiskinan, karena takut kehilangan proyek

Tidak ada komentar:


my lovely wife