Modus Merampas Tanah Rakyat



Oleh rawa el amady

Kasus Mesuji Lampung & Sumsel  merupakan puncak gunung es pola hubungan antara negara (penguasa) ,  pengusaha dengan rakyat. Muara dari kasus ini tentu saja rezim otoriter, pejabat korup dan presiden yang tidak bisa melihat masalah. Bukannya pejabat tidak tahu bahwa era reformasi akan memunculkan eskalasi konflik terpendam selama  Orde Baru. Sayangnnya, pemerintah dalam hal ini Presiden, Gubernur, Bupati dan Camat tidak pernah serius melihat  permasalahan ini. Seharusnya, begitu reformasi dimulai masalah ini harusnya menjadi perhatian utama, bukan menunggu ledakan baru memikirkannya.

Pada zaman Orde Baru saya melakukan beberapa investigas tentang modus pengambilan tanah oleh pengusaha yang menggunakan alat negara;

Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Mengenai pengambilan secara paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta  menunjukkan bukti  secara  tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi, tidak seorang pun pendududk memiliki bukti secara tertulis. Untuk mempertahankan kebun yang disengketakan penduduk tersebut, pihak perusahaan menggunakan  tentera atau  orang yang menyamar sebagai tentera.

Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar  ganti rugi mengikut harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Tetapi terdapat perbedaan harga yang mencolok, dalam kasus Pulau Bintan misalnya, perusahaan memberi ke pemerintah Rp.2000/ meter, lalu diganti rugi ke masyarakat Rp.50,-/meter

Cara kedua ini juga dilakukan oleh pihak perusahaan karena sebab-sebab yang lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan  unjuk  rasa  agar tanahnya dibayar dengan harga yang sesuai. Proses ganti rugi biasanya  melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi, setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan  tidak langsung membayar ganti rugi  kepada penduduk tetapi melalui pemerintah.

Cara ketiga adalah membeli tanah  penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan itu tanah penduduk sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak lansung membeli tanah penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Oleh sebab itu yang membeli umumnya adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan pemerintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal daripada harga membeli.

Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjualkan tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan pelbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahwa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah.

Ada dua alasan utama masyarakat menjual tanahnya. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi. Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan hidup senang adalah dengan menjual tanah.  Ada juga yang  menjual tanah hanya karena ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam hubungan ini, peranan  Kepala Desa teramat  penting untuk menentukan  tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin  menjual tanah mereka secara langsung pada pengusaha pabrik, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa lebih dahulu. Kepala desa yang akan  menentukan harga tanah tersebut. Setelah itu baru tanah tersebut dijual kepada pihak yang memerlukannya. Biasanya yang membeli tanah itu adalah kepala desa sendiri.

Setelah refomasi ini, ada kecendungan baru bahwa perusahaan mengorganisir orang luar dari desa untuk membeli tanah penduduk tersebut, seolah-olah tidak ada ikut campur perusahaan. Setelah tanah itu pindah tangan, perusahaan mengganti rugi ke pembeli dengan harga yang bisa dinegosiasikan. Harapannya tentu saja, perusahaan bisa lepas dari jerat hukum dan secara perlahan tentu dengan mudah menggusur masyarakat di kawasan tersebut.””””””

Guru Jangan Ditiru Jadilah Diri Sendiri




Menyambut hari guru guru 25 November, saya akan membahas sebuah pepatah papatah lama “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”  Pepatah ini mengisyaratkan bahwa guru adalah pembentuk sikap muridnya. Apapun yang dilakukan guru akan dicontoh muridnya. Bahkan untuk kencing berdiri di wc yang pakai urinoir saja tidak bisa, karena jika kelihatan muridnya, maka muridnya akan kencing berlari-lari di dalam wc tersebut. 

Menurut saya pepatah itu sudah tidak layak lagi dipakai di era sekarang, dengan beberapa alasan. Pertama, posisi guru bukanlah posisi sentral dalam kehidupan murid.  Era informasi yang terpecah sekarang ini guru bukan lagi menjadi sistem nilai. Dilihat dari waktu guru bersama murid,  tidak lebih dari delapan jam saja murid disekolah, itupun aktu murid lebih banyak dihabiskan bersama teman-teman. Ini berarti guru sebagai pembentuk pribadi murid itu tidak benar.

Kedua, hubungan kedekatan anak atau murid adalah pada ayah, ibu, nenek, saudara dan pengasuh.  Bersama merekalah waktu terlama yang dirasakan anak atau murid tadi. Ketika anak-anak berumur  nol tahuan sampai 15 tahun rumah adalah pantulan  nilai yang masuk kememorinya setiap hari.  Sebab itu, prilaku anak, sikap anak dan kecerdasan anak, kesopanan anak merupakan pantulan dari  sikap dan nilai dari ibu, bapak, nenek, saudara dan pengasuhnya.  Sangat tidak benar, kalau guru menjai panutan utama murid, panutan utama murid ada dalam keluarga. Tidak ada peran guru disini.

Ketiga, sumber informasi nilai lainnya yang diperleh anak-anak atau murid adalah infromasi dari teman sebaya. Teman sebaya sering sekali menjadi alternatif bagai murid dan anak-anak untuk terbuka tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Komunikasi dengan teman sebaya tersebut memberi input dan petunjuk tentang  pilihan-pilihan bertahan hidup di masa remaja. Guru, keluar, bapak dan ibu tidak bisa hadir disini.

Keempat, media informasi, televisi, radia telepon celuler, internet dengan berbagai fasiltiasnya, surat khabar, majalah dan media yang dicetak terbatas. Semua media tersebut sangat jelas memasukan berbagai informasi ke anak – anak. Informasi yang masuk melalaui media in tanpa mampu di filter oleh anak-anak. Sekali lagi, nilai yang masuk ke anak-anak akan mempengaruhi sikap dan prilakunya. Sekaligi guru, ayah, ibu dan keluarga sering tertinggal dalam masalah ini.

Kelima, tokoh idiola. Sangat pasti masa remaja adalah masa mencari tokoh idiola. Peran idiola ini pada periode waktu tertentu terhadap pribadi tertentu menjadi sangat penting. Bukan hanya membentuk sikap dan prilaku, tapi juga rencana masa depan. Penentuan tokoh idiola ini sangat  dominan oleh keempat faktor diatas. Mungkin saja ada peran guru disini, peran orang keluarga.bacaaan, dan teman sebaya.

Dari kelima indikasi yang saya sampai diatas, maka “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sudah tidak pantas lagi digunakan. Pepatar ini selain terlalu mengaung-agungkan guru, juga menistakan guru sebagai manusia biasa. Walaupun maksudnya ingin meletakan guru  pada struktur kelas yang tinggi, tetapi menurut saya sangat berlebihan. Kita juga tahu, bahwa guru juga membisniskan muridnya untuk kepentingan pribadi bahkan demi sertifikasi rela tidak jujur dalam menyediakan makalah. 

Atas pentimbangan maka saya ingin sekali menyampaikan bahwa, keluargalah yang paling berperan membentuk karakter anak. Anak bukan diarahakan harus begini dan begitu anak harus tetap menjadikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk mengingatkan murid-murid tidak perlu mengikuti guru, jadilah diri sendiri. 

Presiden Kelas Politisi Gurem




 M. Rawa El Amady

Sejarah Presiden di Indonesia memang didominasi oleh kepentingan politik praktis. Mulai dari Presiden pertama sampai Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Warna politik praktis tersebut  dapat dibaca dengan mudah tanpa harus menggunkan teori-teori ilmu politik dari berbagai aliran. Presiden kita belum mampu bertindak sebagai negarawan dan pemimpin negara. Baru sebatas politisi kelas gurem. 

Saya sendiri mencoba memahami kebijakan presiden tersebut melalui analisa berbasis masalah. Analisis berbasis masalah dalam pemahaman saya adalah sebuah kebijakan yang dimunculkan atas dasar inti permasalahan  yang dihadapi. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah masalah sebenarnya  dihadapai bangsa Indonesia?  Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan tersebut adalah tujuan berbangsa dan bernegara, bukan tujuan  politik praktis apalagi tujuan pribadi.

Kita lihat, apakah masalah terbesar yang dihdapai bangsa Indonesia pada tahun 1955 hingga 1959? Tentu semua kita tahu, bahwa masalah terbesarnya adalah konflik politik antar aliran, dan gerakan politik TNI. Presiden pertama Soekarno, menjawab problem tersebut dengan  melakukana kudeta politik melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini bisa dikatakan sebagai kudeta terhadap hak politik sipil, melalui kekuasan sepenuhnya ditangan Presdien yang mengandeng TNI. Sejak dekrit 5 Juli 1959, TNI secara resmi masuk politik dan Soekarno menjadi kekuatan otoriter untuk mematikan politik sipil yang sedang berkembang.

Bisa dilihat, akibat dekkrit Presiden, terjadilah konflik nasional, tentara memobilisasi kekuatan sipil berhadapan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Masayarakat sipil yang sektarian diadu dengan kekuatan sipil lain (PKI) guna membuka ruang kekuasaan otoriter Soeharto yang di back up tentara.

Negara otoriter Orde Baru merupakan bentuk konkrit dari rezim Soeharto yang mengabaikan tujuan bernegara. Tentu pandangana  otoriterisime Orde Baru tidak ada yang bisa membantahnya, termasuk dominannya kepentingan pribadi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Indonesia dibawah presiden sipil  memulai jalan untuk menuju kehidupan bernegara, Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang mengerti betul dengan permasalahan yang ada di Indonesia  lalu mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapai.  Kebijakan penting yang dilakukannya adalah otonomi daerah seluas-luasnya, kebebasan pers, peletakan dasar-dasar penegaakan hukum.

Sayang sekali,Habibie harus berhadapan dengan mayoritas politisi ingusan yang mengurus diri sendiri saja belum bisa, apalagi berpikir untuk kehidupan bernegara. Mayoritas politisi hingga saat ini, bahkan berfikir secara kepentingan politikpun belum, tapi masih berfikir diarea pribadi. Bisa dibayangkan jika Presiden ketika iitu bukan Habibe kebebasan pers tidak seperti sekarang, perkembangan daerah tidak secepat sekarang, perebutan kekuatan tidak semeriah sekarang, dan pemberantasan korupsi tidak seheboh sekarang, begitu juga perubahan civilisasi tidak secepat sekarang.

Presiden Gusdur walaupun sebentar tapi Gus dur bisa membaca faktor penghalang demokrastisasi. Gusdur justeru memperkuat demokratisasi yang digelontorkan Habibie dengan mempertajam aspek multikulturalisme yaiitu membuka gembok pembatasan etnis minoritas dalam hal ini keturanan Tionghoa. Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Program Penguatan Kecamatan.

SBY  Presiden sipil tapi purnawirawan sudah berkuasa 7 tahun. Sejak tahun pertama berkuasa, saya tidak melihat pernah memahami permasalahan dasar di Indonesia  sekarang. SBY masih sangat terpaku pada masalah di awal reformasi. Padahl masalah itu bukan masalah utama lagi, masalah sudah diselesaikan Habibie, Gus Dur dan Megawati, sementara yang diperlukan SBY adalah operasionalisasi lebih konkrit dari pemecahan masalah yang sudah dibuat.

SBY terperangkap pada jebakan politisi senayan, karena takut pengalaman Habibie, Gusdur bahkan Megawati terulang pada dirinya. Mulai dari pembentukan kabinet dan kebijakan yang dibuat oleh SBY belum berbasis masalah, tetapi berbasih kepentingan politik praktis semata.  Lihatlah pada pengantian menteri minggu ini, SBY benar-benar diperangkap oleh kepentingan politisi di senayan bukan untuk menyelesaikan masalah.

Menurut saya, permasalahan Indonesia bukan terletak dikabinet dan politik kepentingan partai, juga bukan masalah dana. Masalah terbesarnya Indonesia adalah konflik perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten. Pusat mau disebut pro rakyat sehingga merencanakan pembangunan semua lini dari pusat sampai desa, prilaku tersebut diikutipula oleh provinsi dan tentu saja oleh kabupaten. Semua sama-sama mengklaim membangun untuk rakyat, tapi semua sama-sama mengklaim kekurangan biaya untuk membangun.

Menurut saya,  harusnya starting point SBY dari sini, jika konflik perencanaan pembangunan ini berakhir, maka efisiensi akan mampu  menyelelsaikan masalah keuangan dan tambahan hutang, Diperkirakan juga akan berakibat positif terhadap masalah hukum khususnya korupsi akan berkurang karena lahannya ajuga berkurang,. Selain itu dampak pentingnya adalah keberingasan politisi juga akan mereda karena area politiknya semakin jelas dan konflik pemerintahan pusat dengan provinsi dan kabupaten juga akana berkurang.

Sudah pada waktunya yang mengaku petinggi berfikir bahwa persatuan dan kesatuan tidak lagi berarti sentralisasi, tentu persatuan dan kesatuan berarti pemerataan kekuasaan dan pemerataan kesejahteraan. Dengan demikian, kita mulai memasuki fase berlajar hidup berbangsa dan bernegara, yang tentu lebih tinggi martabatnya daripada berpolitik praktis melulu.

Semoga.

Perempuan Desa Semakin Dipojokan


Masuknya Industri di desa menyebabkan posisi perempuan semakin marjinal, dan dieksploitasi. Selain kehilangan  status sosial komunalnya, perempuan sering kehilangan suaminya karena harus bekerja di kota sebab di desa tidak tersedia pekerjaan lagi. Perempuan desa di kawasan industri mengalami domestikasi yang semakin tajam. Pembentukan kota baru di karena industri justru mempunya sisi gelap, terutama pada perempuan.

Menurut Marx, hubungan sosial dilandasi oleh hubungan sosial produksi, yaitu suatu usaha sistematis dari mereka yang menguasai produksi untuk menyerap surplus yang dihasilkan oleh produsen. (Ratna Saptari 1997). Pihak yang menguasai sumber produksi adalah kapitalisme internasional melalui perusahaan multinasional. Hubungan sosial produksi dimulai dari eksploitasi hutan-tanah pertanian penduduk, yang menyebabkan penduduk tidak bisa lagi bekerja di sektor agraris.

Perubahan sumber ekonomi pertanian pedesaan menyebabkan terjadi perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik. Perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik ini menyebabkan bergesernya fungsi perempuan dari memegang peran yang sangat berpengaruh secara komunal menjadi semata-mata bekerja secara domestik dalam rumah tangga. Akibatnya perempuan dikontrol oleh lelaki secara ekonomi dan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Pengontrolan dan domestikasi terhadap perempuan memang merupakan langkah sistematis dari kapitalisme. Ini disebabkan domestikasi dan perubahan perkejaan perempuan dari pertanian ke upahan justeru menguntungkan kapitalisme (Mansour Fakih, 1996).


Pertama, domestikasi atau eksploitasi pulang rumah. Dalam hal ini, perempuan diletakkan sebagai buruh oleh lelaki di rumah tangga. Eksploitasi perempuan di rumah tangga akan membuat buruh lelaki yang dieksploitasi di pabrik-pabrik bekerja lebih produktif. Lelaki tidak lagi memikirkan pekerjaan di rumah tangga dan tangung jawab terhadap anak. Lelaki terfokus bekerja di pabrik untuk mendapat penghasilan yang sebanyak-banyaknya karena fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang bertangung jawab penuh terhadap ekonomi rumah tangga.

Kedua, karena perempuan dieksploitasi oleh suami, maka perempuan juga akan mengalami eksploitasi reproduksi buruh. Hal ini terjadi karena perempuan bertugas untuk melayani suami maka fungsi reproduksi buruh akan lebih dominan. Dampaknya adalah jumlah anak akan banyak dengan demikian jumlah buruh akan melimpah. Jika jumlah buruh lebih banyak maka sudah jelas menyebabkan pasar buruh akan lebih murah. Jika tenaga kerja murah maka sudah jelas akan sangat menguntungkan kapitalisme.

Ketiga, pada keluarga miskin perempuan angraris harus merubah pekerjaannya dari pekerjaan sektor pertanian berubah ke buruh upahan. Masuknya perempuan sebagai buruh upahan akan menciptakan lebih banyak buruh cadangan. Banyaknya buruh cadangan ini menyebabkan pasar buruh semakin murah, semakin murah pasar buruh akan berdampak terhadap pasar buruh perempuan. Oleh karenanya multinasional akan memilih perempuan sebagai buruh karena upahnya yang sangat murah. Terutama sekali perempuan muda dan belum kawin.

Kenyataan tersebut menyebabkan posisi perempuan dalam sistem kapitalisme cenderung kontradiksi. Pada keluarga kaya perempuan di bawah kekuasaan suami baik secara ekonomi maupun secara sosial. Pada keluarga miskin perempuan dieksploitasi oleh kapitalisme karena perbedaan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Berdasarkan pandangan diatas kapitalisme melalui perusahaan multinasional akan melakukan gerakan sitematis kepada dua pilihan diatas terhadap perempuan agraris. Pertama melakukan gerakan domestikasi dengan menekankan buruh lelaki di pabrik sedangkan perempuan desa yang tidak mempunyai keterampilan akan diperkerjakan oleh lelaki di rumah.


Pilihan pertama ini sebenarnya lebih mudah untuk dilaksanakan mengingat kultur dan sistem sosial yang masih bersifat patriakal yaitu kekuasaan berada ditangan lelaki. Apalagi perempuan pedesaan masih sangat patuh kepada aturan sosial patriakal tersebut.


Kedua, mengambil perempuan untuk dijadikan buruh upahan dengan gaji yang sangat rendah. Langkah ini terutama sekali diambil untuk pekerjaan dipabrik atau pekerjaan pemeliharaan di perkebunan. Langkah ini memang memberi kebebasan kepada perempuan secara ekonomi dan mungkin juga penghasilannya, tetapi belum tentu secara sosial. Sementara perempuan tetap dieksploitasi oleh sistem kapitalisme.

Posisi perempuan dalam sistem produksi tahunan ini adalah pada reproduksi rumah tangga, penanaman, penyiangan, pemeliharaan dan pemetikan hasil, pengolahan dan penanaman kembali lahan. Sementara tugas utama lelaki melakukan pembukaan lahan sampai bisa ditanam. Jika lelaki mau juga terlibat dalam aktivitas penanaman sampai ke pengolahan produk akhir, hanya tugas skunder. Sebab lelaki punya tugas tambahan melakukan pekerjaan bulanan sebagai pekerjaan utama.

Kehadiran industri menyebabkan hilangnya pekerjaan bidang pertanian. Para suami tidak lagi berladang dan meneres karet. Begitu juga sungai dan perkarangan sudah juga tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kehilangan sumber-sumber pekerjaan ini menyebabkan perempuan atau para isteri kehilangan pekerjaan skundernya dahulu. Untuk akses ke industri umumnya mereka tidak mempunyai keterampilan yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri.

Kehilangan pekerjaan skuder ini menyebab perempuan secara otomatis pulang ke rumah. Adapun penjelasan mengapa perempuan di kawasan Industri mengalami proses pulang ke rumah. Para isteri yang bekerja dianggap sebagai cerminan ketidak mampuan lelaki dalam menghidupi keluarga. Ketika para suami mampu menghidupi rumah tangganya dengan menjual tanah, berkebun dan sumber ekonomi baru lainnya, isteri diletakkan kembali kepada posisi status sosial

Selain itu, ternyata kehadiran industri menyebabkan menurunnya pelindungan alat reprodsuksi perempuan akibat prilaku seks yang salah. Kalau dahulu para suami menganut paham monogami atau berhubungan seks hanya dengan pasangannya saja. Tetapi sekarang prilaku hubungan seks menjadi beragam, seoarang lelaki selain berhubungan dengan pasangaanya juga berhubungan seks dengan wanita penjaja seks di lokalisasi.. Siapa yang peduli?***

56% Menginginkan Negara Fideral : Perlu Pioner Gerakan Sistematis Negara Fideral Indonesia



Abstraksi Hasil Survey
M. Rawa El Amady
Judul diatas merupakan sari  dari hasil survey yang dilakanksanakan di FB selama 5 bulan lebih.  Walapun hasil survey tersebut  menunjukkan 56% votter setuju dengan negera fideral dengan berbagai alasan, 34% tidak setuju dengan tiga alasan utama, negara kesatuan terbaik, ragu dengan pilihan jawaban dan ketidaktahuan tentang apa itu negara fideral. Serta 9,8% masih ragu, dari 358 votters.  Selain itu, 10 orang menyatakan tidak memilih dengan alasan tidak mengerti politik dan tidak memilih.

Ada dua hambatan utama yang mendorng penolakan negara federal Indonesia, pertama jeratan dogmatis idiologi yang dipelopori oleh angkatan sebelum tahun 80-an.  Kelompok ini mengunci  kuat gagasan negera fideral Indonesia agar tidak berkembang.  Generasi ini masih akan bertahan selama satu dekade. Posisi mereka ini ada di jabatan politik baik di partai maupun di pemerintahan.  Generasi ini terus menularkan idiologinya kepada generasi yang lebih muda.

 Kedua, issu politik masih bersifat temporari atau kepentingan sesaat. Bisa dibayangkan issu politik yang dikembangkan masih beredar di putaran kebutuhan pokok rakyat, issu idiologi, perebutan kekuasaan dan sentimen kepentingan perorangan.  Hal ini tentu saja didukung oleh kondisi perpolitikan nasional  yang memang belum menghasilkan pendidikan politik yang cerdas.

Disisi lain, keberanian pendapat dari votter masih bersifat silent atau hanya sekedar berpendapat saja tetapi belum mengalang gerakan besar untuk mendorong  negera fideral Indoensia.

Hasil survey sebenarnya sangat mengembirakan karena angka 56% dari 357 votters menyatakan setuju pada negera Fideral , ditambah lagi yang ragu 9.8% yang ragu  bukan karena tidak mendukung negera fideral tetapi ragu Pancasila disandingkan federalisme, atau bahkan ragu apapun sistem di Indonesia akan bermuara pada kepentingan pribadi juga.

Ini berarti mengagas negara Federal akan tidak akan mendapat hambatan yang besar, apalagi didorong dengan makin kuatnya demokratisasi, sistem komunikasi yang semakin lancar.  Namun demikian gagasan ini tidak akan berkembang jika tidak ada motor penggerak yang secara terbuka melakukan gerakan menuju negera federal Indonesia. 

TNI Efisisen Berbasis Struktur yang Strategis


 Rawa El Amady

Tahun 1992 dalam sautu diskusi terbatas saya mengajukan dua hipotesis tentang masa depan keterliabtan TNI dalam politik. Pertama, TNI (ABRI) akan tetap mempertahankan kekuasaan politiknya melalui pendekatan instabilitas nasional. Hasil penelitian saya, bahwa pemberontakan di Indonesia menjadi pintu utama masuknya TNI dalam politik.

Kedua, penggantian pimpinan nasional akan terjadi secara tidak wajar. Ini terjadi karena tingginya konflik perebutan kekuasaan di petinggi TNI. Keadaan ini telah terjadi di beberapa negara dunia yang dikuasai rezim tentara.

Saya ingin sekali memperbaharu hipotesis saya tersebut, karena era reformasi dan demokratisasi sudah sedemikian berkembang. Demokratisasi memberi ruang semakin besarnya kedaulatan rakyat. Semakin besar kedaulatan rakyat maka semakin kecil peran negara, semakin kecil peran negara maka semakin cepat proses terbentuknya tentara professional. Tetapi apakah benar demikian keadaannya. Seharusnya, menguatnya demokratisasi di Indonesia sudah menjadi jembatan emas bagi pimpinan TNI untuk membawa tentara ke tentara professional.

Benarkah demikian? Menurut saya sesuai dengan semangat sejarahnya TNI akan selalu mencari peluang untuk berkuasa di Indonesia. Walaupun bentuknya berubah-ubah, melalui kekuasaan langsung dalam pemerintahan atau secara tidak langsung. Terbukti ketika sipil masuk ke pemerintahan stabilitas pemerintahan tidaklah bertahan lama. Habibie hanya 1 tahun lebih sedikit, Gus Dur tidak tidak sampai akhir jabatan, Megawati hanya walau sampai akhir jabatan tetapi hiruk pikuk politik begitu ganas. Masuknya SBY sebagai presiden secara otomatis ruang gerak tentara dalam politik kembali lagi, walau dalam format yang berbeda dengan orde baru.


Beban sejarah sangat kuat bagi TNI untuk terjun ke politik dan beban itu tidak dihapus begitu saja. Bayangkan sebuah organisasi yang mengklaim paling berjasa terhadap republik ini, lalu dikembalikan ke barak dan tidak dibenarkan menyentuh kekuasaan.

Jika TNI benar-benar mau memposisikan diri sebagai tentara propesional maka ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh tentara:

Pertama, menyerahkan permasalahan politik, bisnis dan pressure group ke menteri pertahanan dan presiden sebagai arena politik dan hukum. Panglima hanya mengurusi internal TNI terutama peningkatan kemampuan teknis, modernisasi peralatan tentara dan peningkatan kesejahteraan tentara.

Kedua, mendefinisikan kembali fungsi territorial. Fungsi territorial dahuluanya merupakan andalan utama secara keorganisasian tentara untuk memperkuat kekuatan politik TNI. Organisasi tentara sampai ke desa-desa bernama Babinsa. Konsep teritorial ini sudah tidak relevan dengan perubahan sistem politik dan undang-undang di era reformasi. Selain itu, Konsep territorial ini bukan hanya mubazir secara fungsional tetapi juga mubazir secara finansial. Berapa komandan dan kantor harus dibiayai. Saya mengusulkan konsep terotorial dirumuskan berdasarkan konsepsi geografis, geostrategis dan geopolitik internasional. Oleh sebab itu, bukan hanya babinsa yang harusnya dihapus, tetapi kodim dan koramil pun harus hanya ada pada daerah strategis saja.

Ketiga, mendefinisikan ulang strategi pertahanan nasional. Selama ini strategi pertahanan nasional lebih fokus ke daratan karena yang memegang peranan adalah TNI AD. Jika Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 80% lautan, ratusan ribu pulau dan jarak yang sangat jauh. Indonesia seharusnya mengandalkan angkatan udara dan angkatan laut bukan angkatan darat. Angkatan darat seharusnya menjadi kekuatan utama pendukung bagi pertahanan Indonesia, sementara kondisi strategis dibebankan kepada Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Belajar dari perang Irak dan Afghanistan yang mengandalkan teknologi, angkatan udara menjadi sangat penting.

Angkatan darat tidak perlu ada sampai ke desa-desa cukup ada ditempat-tempat strategis, seperti di Irian Jaya khususnya perbatasan dengan Papua Nugini, di perbatasan Timur-Timor, di Aceh, di pesisir Sumatera Barat, di pesisir pulau Jawa yang berhadapan dengan laut internasional Bengkalis, Batam dan Maluku. Konsep tetitorial yang berdasarkan dengan pendendakan starategis, maka biaya yang tadinya untuk operasional struktur territorial bisa dialihkan ke peralatan dan kesejahteraan. Selain itu, tentara ditingkat babinsa, koramil, diragukan kemampuan tempurnya karena terlalu lama bersama masyarakat sipil daripada bergaul dengan keahlian senjatanya.

Pertanyaannnya apa tentara mau? Masak iya tentara ada di desa menjaga desa dari hama babi..!!

Warga Desa: Kami Marah Dituding Miskin


Oleh Rawa El  Amady

Suatu kali di tahun 2005,  saya berkunjung ke sebuah desa di Riau, desa tersebut penghasil karet. Pada pertemuan desa, kami memperkenalkan diri sebagai tim konsultan pemerintah daerah untuk menanggulangangi kemiskinan. Ruang pertemuan desa tersebut tadinya penuh dihadiri warga. Tapi  sehabis kami memperkenalkan diri  balai desa tersebut kosong hanya aparat desa yang tersisa. Kepala desa, dengan sopan meminta maaf kepada kami, dan memberi alasan mengapa masyarakat meninggalkan kami. Warga desa di sini tidak merasa miskin, jadi mereka akan sangat marah kalau desa termasuk desa miskin.


Saya cukup gembira mendengar penjelasan tersebut, bagi saya warga desa ini punya harga diri yang membanggakan. Informasi ini tentu sangat bertolak belakang dengan berita di media massa kalau pada era reformasi ini orang berebut menjadi miskin dan bangga mendaftarkan dirinya menjadi warga miskin. Tadinya kami bermaksud tidak menginap di desa ini, karena peristiwa ini kami memutuskan tinggal seminggu di desa. Tujuannya ingin mengetahui virus apa yang menjangkiti harga diri warga.


Singkat cerita setelah satu minggu kami berada di desa, saya mendapat informasi yang betul-betul menarik. Pertama, warga desa ini telah mengetahui sejak orde baru, hingga sekarang bahwa desanya masuk sebagai desa miskin. Kedua, entah dari mana mereka tahu, program kemiskinan kabupaten, provinsi dan nasional juga masuk ke desa mereka.


Ketiga, mereka juga tahu bahwa setiap dinas di kabupaten, dinas di provinsi serta setiap kementerian di nasional juga punya program kemiskisnan yang menjadikan desanya sebagai objek program mereka. Menurut mereka lagi, selama ini mereka tidak pernah merasakan adanya program tersebut masuk ke desa mereka. Bentuk program nya hanya sekali saja bertatap muka dengan warga desa setelah itu hilang tidak ada kabar. Kalaupun ada program yang masuk ke desa, program itu berputar dilingkungan keluarga dekat kepala desa saja.


Keempat, sebagai petani karet, masyarakat di desa ini sudah berkecukupan sehingga mereka tidak pantas di sebut miskin. Memang secara prasarana kesehatan, rumah, wc, tempat mandi tidak sebagaimana rumah di kota, lingkungan social mereka memang lingkugan social desa yang belum tersentuh modernisasi. Bagi mereka secara ekonomi, dan social mereka tidak miskin. Tidak ada wrga desa mereka yang kelaparan, yang ada warga desa hidup sederhana sebagai adanya desa. Satu-satunya yang bisa disebut miskin hanya infrastruktur.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.


Seminggu berada di desa yang “ajaib ini” saya memberikan diri memberi beberapa kesimpulan tentang penanggulangan kemiskinan. Pertama, masing-masing level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota ingin jadi pahlawan bagi masyarakat desa. Ini terlihat pada masing-masing level pemerintahan tersebut berebut membuat program masuk desa agar dikatakan perhatian ke masyarakat. Mereka sendiri tidak mengerti fungsi pada levelnya masing-masing, padahal yang punya desa/ kelurahan itu adalah Kabupaten/kota.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.

Selayaknya provinsi dan pusat tidak lagi punya program sampai ke desa tetapi cukup memberi dukungan finansial, penguatan sumber daya manusia, pengawasan dan kemampuan menejemen program. Lebih baik lagi, kalau program penanggulangan masyarakat miskin ini ditangani oleh satu departemen eksofisio yang kantornya sampai ke desa sebagaimana di Afrika Selatan. Nah, masalahnya siapa yang mau memulai kalau masing-masing ketakutan akan kehilangan proyek.

Kedua,, orientasi program. Fungsi Program masih dipandang sebagai bagian dari kinerja satuan kerja, padahal fungsi program adalah penanggulangan kemiskinan. Akibatnya pola fikir yang berkembang di satuan kerja adalah yang penting ada program dan harus ada di setiap satuan kerja. Jika satuan kerja tidak mempunyai program yang bernama penanggulangan kemiskinan maka kinerjanya akan dinilai jelek. Disinilah munculnya ego sektor, orientasi proyek semata. Hasilnya tetap masih minim, masing-masing satuan kerja masih asik pada dirinya sendiri. Akhirnya program tersebut menumpuk di desa tanpa satu penataan yang terkoordinasi/sinkroni dengan baik. Program tersebut bukannya membantu desa tetapi bisa menjadi beban bagi desa. Bahkan terkesan berebut program mengatasnamakan kemiskinan.

Ketiga, sifat program masih ikramental/tambal sulam. Tampak rumah yang buruk maka dibangun rumah, tampak kurang modal diberi modal, tanpak jelek infrastruktur dibangun infrastruktur. Program belum melihat problem struktural dan problem kultural. Dalam persepsi ini, asumsi bahwa masalah kemiskinan berada di desa maka ditumpuklah uang, bantuan dan lain sebagainya ke desa. Padahal pola pikir yang ikramental tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Menyelesaikan permasalahan kemiskinan tidak bisa hanya dengan menyelesaikan symptoms - nya saja, tetapi sumber masalahnya harus diselesaikan. Untuk apa program sebanyak itu, tapi masalah kemiskinan tidak terselesaikan? Bukankah lebih baik satu program yang terintegrasi, fokus dengan target yang jelas, dimana semua departemen, semua satuan kerja, semua level pemerintahan berada bergandengan tangan pada satu program tersebut.

Terkesan Negara tidak mau mengurangi kemiskinan, karena takut kehilangan proyek

Warga Desa: Tanah Kami Diambil Paksa

Opini Rawa El Amady 

Konflik lahan di pedesaan pada masa Orde Baru merupakan isu penting yang pelu diungkapkan kembali pada era reformasi sekarang ini. Betapa tidak, kemiskinan, migrasi ke kota yang semakin menjadi-jadi sekarang ini bisa jadi bersumber dari permasalahan ini. Berbeda dengan era reformasi dimana negara agak menahan diri untuk terlibat langsung pada proses eksploitasi lahan masyarakat.

 Pada era Orde Baru, negara dan industri justeru sebagai pelaku utama eksploitasi lahan rakyat. Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang menyamar.

 Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m2. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal. Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak langsung membeli tanah tersebut, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal.
Atau bahkan pemerintah memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun.

Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk menjual tanah. Peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual.

Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa, rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di desa.

Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus, kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa.

Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan

UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.

Kedua, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta kegiatan industrialisasi lainnya.

UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.

 Pertanyaannya, era reformasi belum menunjukkan bukti konkrit pada masyarakat desa. Belum ada kebijakan lahan pada masyarakat yang lahannya diambil secara paksa oleh negara dan industri. Di desa reformasi berarti memilih presiden, gubernur dan bupati secara langsung, lebih dari itu belum ada……

 (tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di blog pribadi saya lainya)

Tuntutan-tuntutan Ahli Waris Orang-orang Tereksekusi di Rawagede Sebagian Dikabulkan

dikutif dari : http://www.detiknews.com/read/2011/09/18/181111/1725036/10/teks-vonis-pengadilan-den-haag-tentang-rawagede?9911012 Den Haag, 14-9-2011 Pengadilan Negeri (PN) Den Haag hari ini mengeluarkan vonis atas prosedur versus Negara, yang ditempuh oleh sejumlah janda dan seorang anak perempuan dari para korban eksekusi tentara Belanda saat aksi polisionil (Agresi Militer Belanda, red) di Desa Rawagede, Jawa (Indonesia), pada 9 Desember 1947. Ikut hadir selaku sesama penggugat yakni seorang korban selamat dari eksekusi -namun akhirnya meninggal saat prosedur ini berlangsung- dan sebuah yayasan (Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda/YKUKB, red), yang menyatakan antara lain mewakili korban-korban lainnya dari eksekusi Rawagede. Para penggugat menuntut suatu pernyataan hukum bahwa Negara telah melakukan tindakan melawan hukum terhadap para janda dan anggota keluarga lainnya dari para korban eksekusi dan terhadap seorang yang menderita cacat akibat eksekusi. Di samping itu mereka menuntut kompensasi atas kerugian, di mana besarnya masih harus ditentukan lebih lanjut. Para penggugat menyatakan bahwa eksekusi yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah melawan hukum, karena hal itu menyangkut orang-orang tak bersenjata yang dieksekusi tanpa melalui proses hukum apapun. Melawan hukum pula menurut para penggugat, bahwa tidak pernah dilakukan penyelidikan (pidana) secara mendalam atas eksekusi itu dan para perwira penanggung jawab tidak pernah dituntut. Negara tidak membantah bahwa eksekusi tersebut melawan hukum, tapi berdalih bahwa tuntutan itu telah kadaluarsa. Pengadilan mengabulkan sebagian tuntutan-tuntutan itu. Pengadilan menilai bahwa tuntutan berdasarkan eksekusi -jika disimpulkan secara cermat- sudah kadaluarsa, namun dalih kadaluarsa oleh Negara terhadap orang-orang yang terlibat langsung, yakni para janda dari orang-orang yang saat itu dieksekusi dan seorang yang selamat dari eksekusi, tidak bisa diterima. Pengadilan telah mempertimbangkan berbagai situasi yang lebih ditekankan pada keseriusan fakta-fakta. Pengadilan juga menganggap penting fakta bahwa tak lama setelah eksekusi Rawagede telah dinyatakanbahwa tindakan itu tidak dibenarkan. Terhadap ahli waris generasi berikutnya (diantaranya anak perempuan korban yang hadir sebagai penggugat) pengadilan menerima dalih Negara tentang perkara kadaluarsa. Mengenai tuntutan terhadap 'tidak melakukan investigasi dan tidak menuntut pelaku eksekusi', pengadilan juga menerima dalih Negara tentang kadaluarsa. Tuntutan-tuntutan yayasan ditolak, karena tidak cukup jelas mereka mewakili kepentingan siapa. Vonis: BS8793 Vorderingen nabestaanden van in Rawagedeh gexecuteerde mannen gedeeltelijk toegewezen Den Haag, 14-9-2011 De rechtbank s-Gravenhage heeft vandaag uitspraak gedaan in de procedure die was aangespannen tegen de Staat door een aantal weduwen en een dochter van mannen die ten tijde van de eerste politionele actie op 9 december 1947 door Nederlandse militairen zijn gexecuteerd in het dorp Rawagedeh te Java (Indonesi). Als mede-eisers traden op een - tijdens de procedure overleden - overlevende van de executies en een Stichting die stelde onder meer de overige getroffenen van de executies te Rawagedeh te vertegenwoordigen. De eisers vorderden een verklaring voor recht dat de Staat onrechtmatig heeft gehandeld jegens de weduwen en overige familieleden van de gexecuteerde mannen en jegens de man die letsel had opgelopen door de executies. Daarnaast vorderden zij vergoeding van schade, waarvan de hoogte nog nader moet worden bepaald. Eisers voerden aan dat de executies die door Nederlandse militairen zijn uitgevoerd onrechtmatig waren omdat het ging om ongewapende personen die zonder enige vorm van proces zijn gexecuteerd. Bovendien was het volgens eisers onrechtmatig dat geen diepgravend (strafrechtelijk) onderzoek heeft plaatsgevonden naar de gebeurtenissen en dat de verantwoordelijke militairen nooit zijn vervolgd. De Staat bestreed in de procedure niet dat de executies onrechtmatig waren maar beriep zich erop dat de vorderingen zijn verjaard. De rechtbank heeft de vorderingen gedeeltelijk toegewezen. De rechtbank oordeelde dat de vorderingen op grond van de executies strikt genomen zijn verjaard, maar dat een beroep op verjaring door de Staat jegens de direct betrokkenen, dat wil zeggen de weduwen van de destijds gexecuteerde mannen en de overlevende van de executies, onaanvaardbaar is. De rechtbank heeft daarbij verschillende omstandigheden in aanmerking genomen waarbij veel nadruk is gelegd op de ernst van de feiten. De rechtbank achtte het ook van belang dat kort na de executies reeds is geoordeeld dat deze onaanvaardbaar waren. Jegens de nabestaanden van volgende generaties (waaronder de dochter die als eiser optrad) heeft de rechtbank het beroep van de Staat op verjaring gehonoreerd. Ook ten aanzien van de vorderingen wegens het niet-doen van onderzoek en het niet-vervolgen heeft de rechtbank het beroep van de Staat op verjaring gehonoreerd. De vorderingen van de Stichting zijn afgewezen omdat onvoldoende duidelijk is van wie zij de belangen behartigt. Sumber dari detik.com

Surat Dari Nabi Muhammad SAW Kepada Biarawan St. Catherine's Monastery

Surat Dari Nabi Muhammad SAW Kepada Biarawan St. Catherine's Monastery Pada tahun 628 Nabi Muhammad mengeluarkan Piagam Anugerah kepada biarawan St. Catherine Monastery di Mt. Sinai. Berisi beberapa klausul yang melingkupi aspek-aspek hak asasi manusia termasuk perlindungan bagi umat Kristen, kebebasan beribadah dan bergerak, kebebasan untuk menunjuk hakim-hakim dan menjaga property mereka, pembebasan dari wajib militer, dan hak untuk dilindungi dalam perang.
Image of Patent from Prophet Muhammad to the Christians of St. Catherine's Monastery, Mt. Sinai Berikut ini terjemahan dalam bahasa Inggris atas dokumen tersebut: "This is a message from Muhammad ibn Abdullah, as a covenant to those who adopt Christianity, near and far, we are with them. Verily I, the servants, the helpers, and my followers defend them, because Christians are my citizens; and by Allah! I hold out against anything that displeases them. No compulsion is to be on them. Neither are their judges to be removed from their jobs nor their monks from their monasteries. No one is to destroy a house of their religion, to damage it, or to carry anything from it to the Muslims' houses. Should anyone take any of these, he would spoil God's covenant and disobey His Prophet. Verily, they are my allies and have my secure charter against all that they hate. No one is to force them to travel or to oblige them to fight. The Muslims are to fight for them. If a female Christian is married to a Muslim, it is not to take place without her approval. She is not to be prevented from visiting her church to pray. Their churches are to be respected. They are neither to be prevented from repairing them nor the sacredness of their covenants. No one of the nation (Muslims) is to disobey the covenant till the Last Day (end of the world)." TERJEMAHAN: Ini adalah pesan dari Muhammad ibn Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapapun yang menganut Kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apapun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim-hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, maka akan dikeluarkan dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apapun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam. Jika ada yang mengambil hal-hal tersebut,maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apapun yang mereka benci. Tidak ada yang dapat memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa. Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaikinya dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir (akhir dunia). Pada tahun 1517, piagam asli diambil oleh Sultan Selim I dari Turki dan saat ini berada di Musium Topkapi di Istanbul, akan tetapi Sultan memberikan salinan atas piagam tersebut kepada para biarawan, dan melegalisir isi piagam tersebut. Dari koleksi besar gulungan kuno dan modern yang diawetkan di perpustakaan biara, jelas bahwa Perjanjian Nabi, apakah asli maupun salinan, memberikan hak dan perlindungan bagi umat Kristen. PROPHET MUHAMMED's Letter to the Monks of St. Catherine Monastery from Haqqani OSMANLI on Vimeo. copy paste dari http://wijayantiesther.blogspot.com/2011/09/surat-dari-nabi-muhammad-saw-kepada.html

Kepentingan Siapa Penundaan Pemilukada Ulang Kota Pekanbaru


Sebagaimana kita ketahui bahwa pemilihan ulang Walikota dan Wakil Pekanbaru sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi pada 24 September ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan final. Tetapi KPU Pekanbaru ternyata mempunyai pendapat lain terhadap keputusan final Mahkamah Konstitusi ini, dengan alasan biaya KPU Pekanbaru berniat menunda pelaksanaan Pemilihan ulang walikota dan wakil Pekanbaru tersebut.

Pimilukada Kota Pekanbaru menjadi penting dan menarik, pertama,  rezim Herman Abdullah sudah berakhir begitu juga dengan rezim Rusli Zainal dalam dua tahun ke depan akan berakhir.  Keberhasilan menguasai Pekanbaru pada Pemilukada kali ini akan membuka ruang untuk menguasa Riau dua tahun lagi. 

Kedua, para politisi sangat sadar bahwa Pekanbaru sedang beranjak menuju kota mega metropolitan, ini berarti menjadi walikota pekanbaru akan memberi berbagai peluang penting untuk sumberdaya politik di Riau.
 
Ketiga, pada tahun 2012 PON akan dilakukan di Pekanbaru, tentu saja sebagai ibu kota Riau  mempunyai dampak yang sangat positif bagai perkembangan kota.  Rezim Rusli Zainal tentu sangat berkepentingan mengambil alih kekuaasaan di Pekanbaru untuk mendapat dukungan politik, biaya dan dukungan teknis yang selama ini tidak didapat dari Herman Abdullah.

Kemenangan atas gugatanya di Mahkamah Konstitusi tentu memberi angin segar bagi rezim Rusli Zainal, dan tentu punya dampak yang kurang baik bagi rezim Herman Abdullah. Sangat terasa perubahannya, ketua KPU diganti bahkan diberhentikan, Sekdako diganti, dan tentu saja diperkirakan akan menyusul penggantian yang lainnya. Secara awam kita bisa analisa ini sebagai representasi dari kepentingan, rezim yang masuk ke Pekanbaru karena kekalahan PAS di Mahkamah Konstitusi.


Awampun berbicara bahwa rencana penundaan Pemilukada berkiatan dengan kepentingan rezim yang berkuasa, walaupun KPU membuat alasan dana.  Inilah titik keanehannnya karena biaya pemilukada tersebut seharusnya sudah disiapkan untuk dua putaran, nyatanya satu putaran sudah habis.  Lalu bagaimana pendapat anda? 

Ini Dia Modus Mafia Anggaran



Opini rawa el amady

Pemahaman saya tentang mafia anggaran adalah orang atau kelompok orang yang  mengatur mulai dari perencanaan anggaran sampai pada eksekusi pelaksanaan anggaran. Sebagaimana mafia, katagori mafia anggran ini  adalah sekelompok orang yang menggunakan cara-cara haram untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mulai dari penentuan perencaan program atau proyek yang akan dilaksanakan di eksekutif, kemudian pengambilan keputusannya di legislatif, proses pelelangan di eksekutif dan pengusaha. Proses kejahatan dimulai dari menentukan jenis proyek, me-mar up nilai proyek, dan mengatur kemenangan peserta tender.

Mafia ini terdiri dari empat komponen, eksekutif  lebih khususnya elit politik yang berkuasa beserta jaringannya, legislatif, pengusaha dan broker. Pengelompokan ini bukan dimaksudkan sebagai generalisasi yang mewakili seluruhan dari setiap konponen yang disebutkan. Tentu pengelompokan konponen ini sangat berkaitan dengan modus mafia anggaran ini. Bahwa tidak semua eksekutif, legislatif, dan pengusaha yang menjadi mafia. Maka yang dibahas disini adalah konponen yang memerankan fungsi mafia tersebut.

Jika seseorang presiden, gubernur dan walikota berkuasa, maka secara otomatis kita  melihat akan terjadinya banyak sekali pergeseran di beberapa posisi strategis yang diisi oleh jaringannya.  Ini berkaitan dengan jaringan mafia anggaran tadi. Seorang god father bergitu berkuasa akan mempunyai rencana jangka pendek dan jangka panjang agar uang yang dikeluarkan saat kampanye kembali.

Bagaimana mafia ini bekerja? Sumber awal modus bisa dari keempat konponen. Pengusaha dan atau broker menyiapkan konsep pembangunan gedung. Pihak broker atau pengusaha sudah punya detail anggaran yang tentu saja sudah nilai untung yang lumayan. Lalu, rencana ini dibawa oleh broker ke eksekutif dan anggota legsilatif secara bersamaan atau sebaliknya. Disitu dibahas mark up harganya, serta pembangian fee masing-masing, baik itu legislatif, eksekutif, dan broker, sementara perusahaan yang akan menang sudah juga sudah ditentukan.  Mark up biasanya minimal 40% maksimal bisa 100% tergantung pada jenis bahan yang akan dipakai.  Misalnya, untuk proyek desain interior ruangan  tentu mark up nya bisa melebihi 100% karena bahan sulit terbaca secara jelas. Begitu juga proyek-proyek penelitian, dan pembangunan sosial.

Melalui broker tadi sudah ada kesepahaman untuk proyek tersebut antara eksekutif dan legislatif. Maka proyek tersebut akan masuk dalam anggaran yang akan direncanakan hingga disahkan. Pada masa-masa pembahasan ini pengusaha yang ditunjuk tadi banyak mengeluarkan uang untuk service anggota legislatif dan eksekutif tadi.  Begitu disahkan, dan kemudian terlaksana tender, maka panitia tender tentu sudah dapat instruksi dari anggota legislatif dan  god father nya untuk menetapkan syarat-syarat yang rumit untuk memuluskan kemenangan pengusaha tadi. Si pengusahapun akan mengikutkan sebanyak-banyaknya perusahaan miliknya, sehingga mengecilkan peluang bagi perusahaan lain. Begitu  proses tender berjalan  sang pengusaha pasti menang  melalui beberapa perusahaannya yang ikut. Misalkan yang lolos kwalifikasi 5 perusahaan, ternyata itu perusahaannya semua.

Kalau kita melihat posisi Nazarudin, sebenarnya dia adalah seorang broker yang mengaktualisasikan diri sebagai pengusaha peserta tender.  Nazaruddin sebagai broker sekaligus bertindak sebagai pengusaha, sebab itu dia punya 50 perusahaan lebih yang berkaitan dengan peluang kemenangan tender.Maka, begitu dia menang proyeknya disub kotrakan, bukan perusahaannya sendiri yang mengerjakan.

Modus lain yang sangat ketara yang cendrung dilakukan anggota legislatif adalah bantuan sosial. Hampir semua anggota legislatif mempunyai proyek bansos itu, bansos ini diperuntukan untuk daerah pemilihan atau organisasi pendukungnya.  Maka tidak heran bila disetipa provinsi dana Bansos ini sangat besar. Proses bansos ini, biasanya dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang mengajukan proses bantuan. Bahkan bansos ini juga dilakukan oleh eksekutif  di sekretariat. Setiap nilai bantuan yang diperoleh, 50 % nya untuk anggota legislatif atau eksekutif, yang sampai ke masyarakat hanya sedikit saja.

Nah, kalau mau membongkar mafia anggaran saran saya mulai dari Nazarundin, masuk ke eksekutif, dan pengusaha. Apa mampu penegak hukum kita? Saya berharap mampu.

Memproyekan Harga




Oleh M. Rawa El Amady

Membaca running tex di TV One suatu sore, menteri pertanian menuding adanya penimbunan beras. Bagi saya pernyataan ini cukup mengejutkan kesannya menteri pertanian benar-benar tidak mengerti tentang prilaku pasar di Indonesia. Pak Menteri sudah pasti pernah mengalami setiap kali perayaan hari besar agama seperti lebaran dan puasa, harga serta merta naik. Ramadhan tahun ini harga sudah naik sebelum puasa dimulai, belum tentu ada peningkatan permintaan, toh ketika masyarakat ke pasar harga sudah naik duluan. Kejadian ini juga berlaku jika ada informasi kenaikan harga minyak, listrik atau perubahan kebijakan impor dan ekspor, otomatis harga naik.

Negara ini tidak pernah mau belajar dengan kondisi pasar di Indonesia, bahkan cenderung mempertahankan kondisi yang buruk ini. Berpuluh tahun merdeka andalan pemerintah menghadapi hantaman inflasi pada hari besar satu-satunya “operasi pasar” dimana pemerintah menjadi pedagang dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Pemerintah tidak pernah berfikir untuk melakukan penataan pasar yang berbasis pada budaya pasar di Indonesia.

Menurut saya, operasi pasar lebih banyak mudaratnya daripada segi positifnya. Segi mudaratnya bisa dilihat pertama, pelaksananya, pelaksana opeasi pasar adalah aparat pemerintah, sebagai aparat pemerintah pelaksanaan operasi pasar akan membuka peluang korupsi. Pada era orde baru, para pejabat ini mengambil barang dari pedagang lalu dijual lagi dengan harga yang lebih murah.

Kedua, dari segi pembeli. Pembeli yang datang sulit diidentifikasi. Bisa saja yang membeli di operasi pasar tersebut merupakan para pedagang, kemudian dia jual kembali kepada konsumen dengan harga pasar yang berkembang sekarang. Ini artinya operasi pasar masih diragukan kemanfaatannya, karena sasarannya tidak tepat.

Oleh sebab itu saya dari dulu termasuk orang yang sangat menolak diberlakukannya operasi pasar tersebut. Sejatinya pasar di Indonesia tidak terguncang hanya karena akan puasa dan lebaran, kenaikan bahan bakar minyak dan kenaikan gaji PNS.  Bisa dibayangkan, di pasar tradisional harga pakaian cenderung naik, tapi di pasar moderen justeru sebaliknya diskon besar-besaran terjadi. 

Pemerintah seolah-olah membiarkan kondisi harga di Indonesia karena ingin memanfaatkan proyek operasi pasar. Padahal program penataan distribusi pasar merupakan pilihan yang paling tepat untuk menangani persolan harga yang tidak menentu di Indonesia. Hal ini disebabkan aspek sosial, dan kultural dari pasar di Indonesia yang membentuk oligopoli bahkan monopoli oleh cukung besar. Persoalan harga di Indonesia justeru menguntungkan cukong besar.

Geertz memaparkan bahwa terdapat pranata pasar yang terbentuk dalam satu struktur besar, di pasar terdapat hirarki pedagang yaitu pedagang kecil yang berhutang ke pedagang besar, dan pedagang yang besar behutang kepada pedagang yang lebih besar sebagai suatu mekanisme modal, hal ini melibatkan posisi hirarki dari pedagang tersebut. Pola ini adalah bagaimana pedagang besar mempelopori pembagian resiko dengan memberi ruang kepada pedagang kecil berjualan dengan modal darinya.

Pedagang eceran meminjam uang kontan kepada pedagang yang lebih besar untuk melakukan jual beli yang lain. Uang kontan ini berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan kredit. Atau uang kontan menjadi alat untuk membayar kredit agar kredit tetap mengalir. Pembagian resiko ini bisa memastikan bahwa pedagang besar tidak akan mengalami kerugian walau dengan untung yang tidak begitu besar. Itulah sebabnya, barang yang tahan lama cenderung lama berputar-putar di pasar sebelum sampai kepada konsumen sebenarnya. Bahkan sehelai kain untuk sampai ke konsumen bisa berpindah sampai 10 kali, dengan kondisi ini tentu harga menjadi semakin mahal. Maka yang menentukan harga semua barang bukannya hukum permintaan atau produksi tetapi pedagang besar, jika pedangan besar menaikkan harga maka secara otomatis harga akan naik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah operasi pasar bisa menurunkan harga? Jelas sekali tidak karena harga bukan ditentukan di pasar. Penentu harga adalah pedangan besar, lalu harga tersebut dinegosiasikan pula antara penjual dan pembeli. Kekuasaan yang besar dimiliki pedagang besar membuat dia bisa berbuat apa saja, termasuk menciptakan kelangkaan dengan tujuan menaikkan harga. Karena itu, stabilitas harga di Indonesia tidak bisa ditentukan dengan menggunakan teori produksi, suply and demand apalagi melakukan operasi pasar.

Penataan yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pedagang besar dengan membuka akses produksi ke pedangan kecil, memutuskan tali rantai yang panjang antara produsen dengan konsumen, dengan demikian barang tidak perlu mutar terlalu lama untuk sampai ke konsumen dan terntu akan berpengaruh terhadap harga. Sekian


my lovely wife