DiLEMA PANCASILA : SEBUAH CATATAN KAKI




Oleh M.Rawa El Amady


                                                  Pengantar

Reformasi membawa banyak perubahan pada bangsa Indonesia.   Salah satu perubahan yang mendasar adalah cara pandang masyarakat tentang Pancasila. Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara menghadapi  tantangan keras dari dunia pendidikan dan pemerintahan.   Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), untuk  pegawai negeri organisasi masyarakat dan mahasiswa sudah ditiadakan lagi. Begitu juga  mata pelajaran Pancasila  disekolah  mulai dari sekolah dasar sampai ke jenjang SMU bahkan universitas sudah berganti nama menjadi kewarganegaraan.

Tahun 2006 di salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru, saya diminta mengajarkan mata kuliah Pancasila . Perdebatan yang paling menarik bagi saya pada perkuliahan tersebut, “apakah masih pantas Pansila menjadi idiologi Negara?” Perdebatan ini mengakibatkan saya harus mengambil satu dari dua pilihan jawaban, pertama, menjawab secara dokrin, yang berarti harus menyediakan  alasan yang terkesan menga-ada untuk mengatakan bahwa tidak ada pilihan lain bahwa Pancasila adalah idiologi yang tepat bagi bangsa Indonesia. Kedua, menjawab secara akademis, ini berarti harus menguji kekuatan Pancasila  sehingga secara akademis Pancasila layak atau tidak layak menjadi idiologi Banga Indonesia.  Saya memilih cara kedua.

Survey
Langkah awal yang saya lakukan  kepada mahasiswa tersebut adalah memberi tugas survey. Saya mengajar di tiga kelas yang jumlah keseluruhan mahasiswanya mencapai 200 orang.  200 mahasiswa harus menjawab pertanyaan survey,  dan mahasiswa  diminta menambahkan 3 orang responden  yang  pernah ikut  penataran P4, bekerja di sektor public, pendidikan sarjana S-1, dan harus ditanyakan kepada responden tersebut apakah dia paham tentang Pancasila atau tidak.    Maka total responden termasuk mahasiswa mencapai 900 responden di kota Pekanbaru dengan asal suku beragam  hampir seluruh Indonesia.

Pertanyaan yang diajukan pada survey ini,  1. Apakah mempunyai pemahaman yang baik tentang Pancasila.  2. Dari mana mengetahui Pancasila. 3. Apakah Pancasila masih perlu dipertahankan sebagai Idiologi bangsa Indonesia, dan 4. Jika tidak diperlukan lagi sebagai idiologi bangsa Indonesia, sebaiknya  idiologi apa  yang pantas sebagai penggantinya.  Pertanyaan tersebut semuanya terbuka, dan tidak ada sedikitpun pilihan jawaban  yang  ditawarkan. Seacara bersamaan saya menyampaikan materi kuliah kepada mahasiswa sebagaimana  silabus mata kuliah Pancasila umumnya.  Sehingga  mahasiswa diisi informasi tentang Pancasila sebagai idiologi negara.

200 mahasiswa tersebut saya tugaskan membuat laporan dari 3 respon yang diwawancarainya dalam satu kertas kerja terbatas. Sehingga dari kertas kerja tersebut diperoleh informasi pendapat mahasiswa itu sendiri dan pendapat tiga responden yang diwawancarainya. Lalu kepada mahasiswa diminta mengambil kesimpulan tentang hasil  wawancaranya tersebut.

Hasilnya cukup mengejutkan kesimpulan dari mahasiswa bahwa , pertama,  dari 200 mahasiswa tersebut, 44% menyimpulkan Pancasila masih  diperlukan tetapi nilai-nilai idiologinya harus terlihat nyata di tengah masyarakat. Menurut mereka, Pancasila hanya ada di buku, dilangit dan tidak pernah kelihatan dalam kehidupan nyata.  Kedua, 56% menyimpulkan  bahwa pemimpin Negara harus jujur, bahwa Pancasila sudah tidak dipakai lagi karena semua kebijakan Negara, prilaku pejabat dan rakyat Indonesia sudah menganut idiologi liberal. Pancasila hanya ada dalam slogan semata, Pancasila tidak pernah tetap tetapi berbeda-beda pada setiap rezimnya, zaman Orde Lama penerapan Pancasila berbeda  dengan Rezim Orde Baru, bahkan pada rezim reformasipun masih memakai Pancasila dalam pidato-pidato pejabat, padahal mereka melaksanakan idiologi liberal.

Pandangan kelompok mahasiswa ini sama-sama kritis, dan menghendaki bahwa  idiologi bukan semata-mata ide-ide yang melangit, tetapi ide-ide yang dibumi yang  proses menuju cita-cita berbangsanya bisa dirasakan oleh rakyat secara riil.

Sementara itu, 700 responden yang diwawancarai oleh 200 mahasiswa tadi menghasilkan data yang lebih mengejutkan lagi.  Pertaman,  semuanya tamatan S-1, belajar pancasila dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pernah mengikuti penataran P4 lebih dari dua kali, 73% dari responden bekerja di pegawai pemerintah, 27% selebihnya swasta. Semuanya menyatakan bahwa sangat paham dan mengerti  materi P4. Ini artinya mereka mengerti Pancasila sebagaimana yang yang diajarkan oleh Rezim Orde Baru.

Kedua,  hasil yang lebih mengejutkan  bahwa 67% dari 700 responden  menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak diperlukan lagi. Adapun alasannya adalah Pancasila terlalu abstrak dan tidak bisa dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari,  bahkan Pancasila hanya menjadi alat kekuasaan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Buktinya Pancasila banyak versi, versi Orde Lama dan Orde Baru yang jelas otoriter, lalu memasuki era reformasi Pancasila semakin tidak diperlukan karena yang berkembang justru demokrsi liberal.

Namun demikian, dari 67% tersebut, 82% tidak mengusulkan pengganti idiologi Pancasila dengan alasan idiologi liberal tidak sesuai dengan  budaya bangsa Indonesia. Sedangkan idiologi komunis sangat mengerikan, mungkin menyangkut peristiwa 30  September 1966.  Mereka juga enggan diganti dengan idiologi agama karena akan merepot kehidupan sehari-hari mereka. Bisa di interpretasikan bahwa yang 82% dari 67% tersebut masih berharap Pancasila menjadi idiologi yang membumi. 
18% dari yang 67% tadi menganjurkan Indonesia menjadi Negara  Islam seperti  Malaysia , dimana diberlakukan dua sistem hukum, hukum Islam untuk umat muslim sedangkan hukum  Belanda untuk non muslim.

Ketiga, 33% dari 700 responden berpendapat bahwa Indonesia masih mempertahankan Pancasila sebagai Idiologi Negara.  Menurut mereka bukan Pancasila yang salah, tetapi para elit politiklah yang menipulasi Pancasila  untuk menjadikan alat kepentingannya.  Oleh sebab itu, yang perlu diperbaiki adalah tata kelola pemerintahan  agar Pancasila tidak dengan mudah dimanfaatkan  oleh berbagai pihak untuk kepentingan pihak-pihak tersebut.

Lebih Operasional

Data di atas menurut saya bisa diinterpretasikan sebagai berikut, pertama,  secara konsep  idiologi Pancasila memerlukan konsep yang rasional, mempunyai metode aktualisasi dan pertahanan nya  sehingga Pancasila bisa seperti  idiologi liberal, komunis dan agama  dimana setiap orang dengan suka rela menjadi agen dari idiologi tersebut.  Pansasila belum secara jelas mampu menyampaikan  apa menjadi tujuan bersamanya. Berbeda dengan idiologi liberal yang memperjuangkan kebebasan individu, idiologi komunis dan sosialis yang memperjuangkan pemerataan kesejahteraan melalaui peran Negara, idiologi Islam  membangun masyarakat yang Islamis.  Sementara itu, nilai-nilai yang diajarkan oleh Pancasila adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh agama dan kemanusiaan. Ini artinya di Negara lain yang tidak menjadikan Pancasila sebagai Idiologi, nilai-nilai tersebut tetap berjalan dan dipatuhi. 

Kedua,  Idiologi  tercermin pada perbuatan baik untuk tujuan bersama.  Perbuatan yang tidak baik yang dilakukan perorangan untuk tujuan  perorangan atau sebagian kecil orang bukan cerminan idiologi.  Pada konteks ini, terjadi kekacauan pemikiran para responden yang menyamakan tujuaan perorang atau kelompok orang  sebagai akibat daripada diberlakukannya idiologi Pancasila. Kekacauan ini tentu saja disebabkan karena Pancasila masih belum operasional. Nah yang disebut Negara Pancasila itu seperti apa?  Lima sila dari Pancasila itu  dioperasionalkan menjadi Negara seperti apa?  Menurut saya, sampai sekarang belum bisa dijawab secara baik oleh Pancasila. Pancasila masih menguraikan semua yang baik yang harus dilakukan oleh Negara dan warga Negara, belum mencapai  yang baik itu yang mana bentuk riil yang dituju itu. Liberal tidak, komunis haram, sosialis juga tidak, Negara Agama juga tidak, mana ada Negara diantara. Kalau saya mengusulkan, dari materi yang disampaikan pancasila itu  menurut saya yang diinginkan oleh Pancasila adalah negara “Sosialis demokrasi”  yaitu dimana proses bernegara dilakukan secara demokrasi, tetapi peranan Negara untuk kesejahteraan rakyatnya sangat besar. 

Ketiga, Pancasila  hanya bisa dijelaskan seacara politis dan normative belum bisa dijelaskan secara akademis sebagaimana idiologi lain.  Ini disebabkan belum ada konsepsi operasional yang ketat dari Pancasila itu sendiri.  Operasional dari Pancasila selama ini masih berkutat pada nilai-nilai baik yang diambil dari agama dan kebudayaan. Belum ada kesepakatan nasional, bahwa yang dimaksud dengan Pacasila adalah Negara berperan dominan  untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bahwa pasar bebas tidak berlaku  bagi kegiatan produksi yang menyangkut ajat hidup orang-orang banyak, bahwa perusahaan Negara tidak perlu mendasarkan perhitungannya pada untung rugi dan sebagaimanya. Namun proses rekrutmen Negara dilaksanakan secara demokrasi, pertangungjawaban pejabat Negara dilakukan secara demokratis. Proses  politik dilakukan secara demokratis, proses eknomi dilakukan secara sosialis.  Dengan demikian, konsepsi Pancasila sebagai idiologi terbuka  harus dihapus karena  konsep itu membuka peluang  pemanfaatan Pacasila untuk kepentingan rezim berkuasa.   

Kesimpulan
Pancasila  masih memerlukan kajian lebih dalam  untuk mewujudkan nya menjadi idiologi Negara Indonesia, sebagai idiologi yang kuat dan mampu menunjukkan identitas dirinya sebagai suatu idiologi yang diperhitungakan oleh rakyat dan dunia

KEKUATAN POLITIK BARU DI INDONESI




Opini Rawa El Amady

Pada masa Orde Baru kekuatan politik dominan ada ditangan militer sebagai pengendali utama, sementara kekuatan politik lain bersaing untuk menarik perhatian kekuatan militer, sedangkan kekuatan politik nasionalis menjadi penyeimbang semu dari kekuatan rezim militer tersebut. Kekuatan politik Islam, Masyumi, Perti, Muahamdyah, HMI dan NU pada akhir Orde Baru berhasil menjadi mitra kekuatan militer bahkan akhirnya menghantarkan ke reformasi. 

Reformasi menjadikan beberapa kekuatan politik terpencar dan terus terjadi sampai sekarang. Kekuatan Islam  berpencar menjadi beberapa partai, NU,  perti melalui PBB, Muhamadyah melalui PAN, dan generasi baru Islam yang  didominasi pendidikan Timur Tengah bernaung di PKS. Sementara kekuatan nasionalis cepat berkonsolidasi melalui PDIP.  Kekuatan militer terpecah, masing-masing membuat partai melalui Gerindra, Hanura dan PKPI. Golkar yang menjadi kekuatan utama Orde Baru memisahkan diri dari kekuatan militer dan berusaha menjad ikekuatan baru di era reformasi dengan kekuatan penting dipayungi oleh HMI. 

Kekacauan politik yang terjadi di beberapa partai saat ini (2013) menurut saya disebabkan oleh perebutan kekuasaan oleh kekuatan politik dominan pada masing-masing partaip olitik.  Beberapa kekuatan politik tidak terhimpun dalam satu kekuatan partai politik dan berada dibeberapa partai politik menyebabkan pertarungan tidak terjadi diarena terbuka antar partai tetapi terjadi pada  internal masing-masing partai politik. Masing-masing kekuatan politik berebut pengaruh di level elit partai untuk memastikan kendali dan pengaruh berada pada kekuatan mereka. Kasus Partai demokrat, Nasional Demokratik , dan Golkar menandakan tidak adanya kekuatan dominan pada partai tersebut. 

Coba pahami prilaku Golkar, ketika kekuatan dominan dikuasai oleh para alumni HMI, Golkar cenderung tenang dan kuat.Tetapi kemudian muncul dua kekuatan baru diluar HMI yaitu  Surya Palohdan dan Aburizal Bakri yang sama - sama teknokrat dimana dalam persaingan kekuatan Bakri menang dalam Musyawarah Nasional dan penetapan calon Presiden.  Respon dari kekalahan  Surya Palo mendirikan Nasdem sedangkan kekuatan HMI menjadi opisisi semu di Golkar pada penetapan calon presiden. Golkar akan terus-menerus goyah selag ikekuatan HMI  belum memegang pengaruh dominan di Golkar.

Partai Nasdem yang baru terbentuk sudah terjadi riak-riak konflik internal dengan keluarnya gerbong HaryTanu Sudibyo disebabkan Surya Paloh mencoba menarik kekuatan alaumni HMI khususnya yang ada di Golkar untuk bergabung di  Nasdem.  Hary Tanu Sudibyo dipandang hanya mempunyai kekuatan dana saja tapi tidak memiliki pengalaman oragnisasi dan basis  akar rumput. Sementara alumni HMI seperti Fery Musidan Baldan memiliki pengaalaman organisasi dan mempunyai  basis akar rumput sertajaringan nasional yang kuat. 

Apa yang terjadi di Partai Demokrat ? secara telanjang mata dan bisa dirasakan bahwa terjadi transformasi kekuasaan dan pengaruh di dalam partai demokrat.  Naiknya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat membuat terjadi peralihan secara significan kekuasaan dan pengaruh pada partai. Perebutan kekuasaan yang terjadi di demokrat adalah kekuasaan militer dan teknorat dengan kekuatan  alumni-alumni muda HMI.  Sby baru menyadairi bahwa demokrat tidak lagi dibawa kendali militer dan teknokrat karena hampir 85%  pengurus daerah dikuasai oleh para alumni HMI. 

 Ini berarti kedepan Partai Demokrat sudah hampir dipastikan menjadi partainya alumni  HMI yang tentu saja mengeser posisi tentara dan teknokrat,  padahal mereka merasa sebagai pendiri partai dengan tujuan utama melanggengkan kekuatan politik tentara di Indonesia. Oleh sebab ituah, SBY begitu marahnya kepada Anas yang mengendalikan gerbong demokrat kedepan.  Jadi mengapa Anas tidak berani diutak-atik secara tegas oleh Sby hanya mengambil kendali yang semu karena SBY ingin mengurangi dominasi peran Anas sebagai simbol kekuatan muda alumni HMI. Semakin pentingnya HMI bagi Sby, sampai-sampai Sby mengudang pengurus besar PB HMI. HMI dan alumninya memegang peranan yang sangat penting  di demokrat sehingga SBY tetap mempertahankan Anas sebagai ketua umum, kekuatan-kekuatan tentara dan teknokrat  di  demokrat harus menahan diri untuk melawan kekuatan alumni HMI. 

Fenomena  yang terjadi padapolitik Indonesia terkini bisa secara jelas mengambarkan peta kekuatan politik di Indonesia,  pertama, kekuatan Islam,  kekuatan Islam ini terbagi menjadi beberapa kubu utama, kekuatan politik NU yang diwakili PKB dan PPP  yang tentu saja tidak begitu dominan lagi setelah Gus DUR wafat, kekuatan yang diwakili oleh Muhamadyah yang berada di PAN, kekuatan yang diwakili oleh alumni timur tengah melalui PKS dan kekuatan yang paling dominan yaitu HMI yang berada disemua partai politikdancen derung berada pada masing-masing elit partai. Sadar atau tidak kekuatan besar politik setelah order baru berada digerbang alumni HMI.  Bisa dibayangkan, jika kekuatan ini menjadi sangat dominan di kekuatan Indoensia, sekarang ini. 

Kedua, kekuatan tentara dan teknokrat Tentara dan teknokrat selalu bergabung menjadi satu kekuatan politik sejak Orde Baru. Beruntugnya kekuatan politik tentara terpencar menjadi tiga generasi, yang wakili Wiranto melalui Hanura,  generasi yang diwakili SBY melalui demok rat, dan generasi yang diwakili oleh Prabowo melalui Gerindra. Pemilu 2014, generasi dari Sby akan berakhir dan diperkirakan tokoh politik tentara yang ada di demokrat akan berpindah ke Hanura dan atau Gerindra. Jika hal ini terjadi maka demokrat akan berubah bentuk menjadi partais ipil yang dikuasaa para alumni HMI. Sedangkan Tentara yang berada di PDIP dan partai Islam tidak bisa secara leluasa mengaktualkan kepentinganpolitiknya karena dibentengi garis idiologi yang kuat. Sedangkan Nasdem dan Golkar memprestasikan kepentigan teknokrat secara dominan dimana kekuatan tentara mulai menipis . 

Ketiga, kekuatan nasionalis, yang tentu saja diwakili PDIP satu-satunya partai yang mempunyai sejarah yang kuat dengan Soekarno.

Konflik internal partai ini akan berakhir jika partai politik kembali ke era tahun 55 yang berbasis idiologi. Sangat terbukti partai-partai yang mempunyai basis “idiologi” seperti PDIP, PPP, PKS, PAN konflik internal partai tidaklah terjadi secara terbuka. Ayo pemilik partai kembali keidiologi agar jelas perjuangannya. Sekian


my lovely wife