Presiden Kelas Politisi Gurem




 M. Rawa El Amady

Sejarah Presiden di Indonesia memang didominasi oleh kepentingan politik praktis. Mulai dari Presiden pertama sampai Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Warna politik praktis tersebut  dapat dibaca dengan mudah tanpa harus menggunkan teori-teori ilmu politik dari berbagai aliran. Presiden kita belum mampu bertindak sebagai negarawan dan pemimpin negara. Baru sebatas politisi kelas gurem. 

Saya sendiri mencoba memahami kebijakan presiden tersebut melalui analisa berbasis masalah. Analisis berbasis masalah dalam pemahaman saya adalah sebuah kebijakan yang dimunculkan atas dasar inti permasalahan  yang dihadapi. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah masalah sebenarnya  dihadapai bangsa Indonesia?  Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan tersebut adalah tujuan berbangsa dan bernegara, bukan tujuan  politik praktis apalagi tujuan pribadi.

Kita lihat, apakah masalah terbesar yang dihdapai bangsa Indonesia pada tahun 1955 hingga 1959? Tentu semua kita tahu, bahwa masalah terbesarnya adalah konflik politik antar aliran, dan gerakan politik TNI. Presiden pertama Soekarno, menjawab problem tersebut dengan  melakukana kudeta politik melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini bisa dikatakan sebagai kudeta terhadap hak politik sipil, melalui kekuasan sepenuhnya ditangan Presdien yang mengandeng TNI. Sejak dekrit 5 Juli 1959, TNI secara resmi masuk politik dan Soekarno menjadi kekuatan otoriter untuk mematikan politik sipil yang sedang berkembang.

Bisa dilihat, akibat dekkrit Presiden, terjadilah konflik nasional, tentara memobilisasi kekuatan sipil berhadapan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Masayarakat sipil yang sektarian diadu dengan kekuatan sipil lain (PKI) guna membuka ruang kekuasaan otoriter Soeharto yang di back up tentara.

Negara otoriter Orde Baru merupakan bentuk konkrit dari rezim Soeharto yang mengabaikan tujuan bernegara. Tentu pandangana  otoriterisime Orde Baru tidak ada yang bisa membantahnya, termasuk dominannya kepentingan pribadi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Indonesia dibawah presiden sipil  memulai jalan untuk menuju kehidupan bernegara, Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang mengerti betul dengan permasalahan yang ada di Indonesia  lalu mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapai.  Kebijakan penting yang dilakukannya adalah otonomi daerah seluas-luasnya, kebebasan pers, peletakan dasar-dasar penegaakan hukum.

Sayang sekali,Habibie harus berhadapan dengan mayoritas politisi ingusan yang mengurus diri sendiri saja belum bisa, apalagi berpikir untuk kehidupan bernegara. Mayoritas politisi hingga saat ini, bahkan berfikir secara kepentingan politikpun belum, tapi masih berfikir diarea pribadi. Bisa dibayangkan jika Presiden ketika iitu bukan Habibe kebebasan pers tidak seperti sekarang, perkembangan daerah tidak secepat sekarang, perebutan kekuatan tidak semeriah sekarang, dan pemberantasan korupsi tidak seheboh sekarang, begitu juga perubahan civilisasi tidak secepat sekarang.

Presiden Gusdur walaupun sebentar tapi Gus dur bisa membaca faktor penghalang demokrastisasi. Gusdur justeru memperkuat demokratisasi yang digelontorkan Habibie dengan mempertajam aspek multikulturalisme yaiitu membuka gembok pembatasan etnis minoritas dalam hal ini keturanan Tionghoa. Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Program Penguatan Kecamatan.

SBY  Presiden sipil tapi purnawirawan sudah berkuasa 7 tahun. Sejak tahun pertama berkuasa, saya tidak melihat pernah memahami permasalahan dasar di Indonesia  sekarang. SBY masih sangat terpaku pada masalah di awal reformasi. Padahl masalah itu bukan masalah utama lagi, masalah sudah diselesaikan Habibie, Gus Dur dan Megawati, sementara yang diperlukan SBY adalah operasionalisasi lebih konkrit dari pemecahan masalah yang sudah dibuat.

SBY terperangkap pada jebakan politisi senayan, karena takut pengalaman Habibie, Gusdur bahkan Megawati terulang pada dirinya. Mulai dari pembentukan kabinet dan kebijakan yang dibuat oleh SBY belum berbasis masalah, tetapi berbasih kepentingan politik praktis semata.  Lihatlah pada pengantian menteri minggu ini, SBY benar-benar diperangkap oleh kepentingan politisi di senayan bukan untuk menyelesaikan masalah.

Menurut saya, permasalahan Indonesia bukan terletak dikabinet dan politik kepentingan partai, juga bukan masalah dana. Masalah terbesarnya Indonesia adalah konflik perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten. Pusat mau disebut pro rakyat sehingga merencanakan pembangunan semua lini dari pusat sampai desa, prilaku tersebut diikutipula oleh provinsi dan tentu saja oleh kabupaten. Semua sama-sama mengklaim membangun untuk rakyat, tapi semua sama-sama mengklaim kekurangan biaya untuk membangun.

Menurut saya,  harusnya starting point SBY dari sini, jika konflik perencanaan pembangunan ini berakhir, maka efisiensi akan mampu  menyelelsaikan masalah keuangan dan tambahan hutang, Diperkirakan juga akan berakibat positif terhadap masalah hukum khususnya korupsi akan berkurang karena lahannya ajuga berkurang,. Selain itu dampak pentingnya adalah keberingasan politisi juga akan mereda karena area politiknya semakin jelas dan konflik pemerintahan pusat dengan provinsi dan kabupaten juga akana berkurang.

Sudah pada waktunya yang mengaku petinggi berfikir bahwa persatuan dan kesatuan tidak lagi berarti sentralisasi, tentu persatuan dan kesatuan berarti pemerataan kekuasaan dan pemerataan kesejahteraan. Dengan demikian, kita mulai memasuki fase berlajar hidup berbangsa dan bernegara, yang tentu lebih tinggi martabatnya daripada berpolitik praktis melulu.

Semoga.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

tulisan yang menarik dan cerdas, ajarin saya ya bang buat ulasan2 seperti ini..keren lah :)

untuk isinya, saya pikir setiap presiden kita (kecuali yg terakhir ini) memberikan tonggak2 kemajuan utk Indonesia yg patut dicatat dalam sejarah (even Soeharto gitu), Soekarno gitu2 dia yg meletakkan Pancasila sbg dasar negara dan jg memproklamasikan kemerdekaan kita...ya memang sangat disayangkan, yg terakhir ini memang keliatannya ingin meniru semuanya tp akhirnya kehilangan jati diri...

yg kedua, menurut saya, kalau presiden sdh terlalu lama menjabat dan terlalu sering disanjung...akhirnya itu meningkatkan keegoisan dan kenarsisan dirinya dan kejatuhan pemerintahannya spt saat ini!

yah...itulah makanya, saat ini perlu revolusi spy tdk berlarut2 kekacauan yg ada :D

salam revolusi (damai)
hilda

rawa el amady mengatakan...

terima kasih mbak sudah mampir dan memberi komentar yang bisa memperkaya tulisan ini, memang sudut pandang berbeda jsuteru memperkaya tentang bagaimana kita melihat suatu hal. terims ya... tulisan mba juga bagus2 kok tergantung gaya menulisnya kali ya ... salam


my lovely wife