Oleh M. Rawa
El Amady
Membaca running tex di TV One suatu sore,
menteri pertanian menuding adanya penimbunan beras. Bagi saya pernyataan ini
cukup mengejutkan kesannya menteri pertanian benar-benar tidak mengerti tentang
prilaku pasar di Indonesia. Pak Menteri sudah pasti pernah mengalami setiap
kali perayaan hari besar agama seperti lebaran dan puasa, harga serta merta
naik. Ramadhan tahun ini harga sudah naik sebelum puasa dimulai, belum tentu
ada peningkatan permintaan, toh ketika masyarakat ke pasar harga sudah naik
duluan. Kejadian ini juga berlaku jika ada informasi kenaikan harga minyak,
listrik atau perubahan kebijakan impor dan ekspor, otomatis harga naik.
Negara ini
tidak pernah mau belajar dengan kondisi pasar di Indonesia, bahkan cenderung
mempertahankan kondisi yang buruk ini. Berpuluh tahun merdeka andalan
pemerintah menghadapi hantaman inflasi pada hari besar satu-satunya “operasi
pasar” dimana pemerintah menjadi pedagang dengan harga yang lebih rendah dari
harga pasar. Pemerintah tidak pernah berfikir untuk melakukan penataan pasar
yang berbasis pada budaya pasar di Indonesia.
Menurut
saya, operasi pasar lebih banyak mudaratnya daripada segi positifnya. Segi
mudaratnya bisa dilihat pertama,
pelaksananya, pelaksana opeasi pasar adalah aparat pemerintah, sebagai aparat
pemerintah pelaksanaan operasi pasar akan membuka peluang korupsi. Pada era
orde baru, para pejabat ini mengambil barang dari pedagang lalu dijual lagi
dengan harga yang lebih murah.
Kedua, dari segi pembeli. Pembeli yang
datang sulit diidentifikasi. Bisa saja yang membeli di operasi pasar tersebut
merupakan para pedagang, kemudian dia jual kembali kepada konsumen dengan harga
pasar yang berkembang sekarang. Ini artinya operasi pasar masih diragukan
kemanfaatannya, karena sasarannya tidak tepat.
Oleh sebab
itu saya dari dulu termasuk orang yang sangat menolak diberlakukannya operasi
pasar tersebut. Sejatinya pasar di Indonesia tidak terguncang hanya karena akan
puasa dan lebaran, kenaikan bahan bakar minyak dan kenaikan gaji PNS. Bisa dibayangkan, di pasar tradisional harga
pakaian cenderung naik, tapi di pasar moderen justeru sebaliknya diskon
besar-besaran terjadi.
Pemerintah
seolah-olah membiarkan kondisi harga di Indonesia karena ingin memanfaatkan
proyek operasi pasar. Padahal program penataan distribusi pasar merupakan
pilihan yang paling tepat untuk menangani persolan harga yang tidak menentu di
Indonesia. Hal ini disebabkan aspek sosial, dan kultural dari pasar di
Indonesia yang membentuk oligopoli bahkan monopoli oleh cukung besar. Persoalan
harga di Indonesia justeru menguntungkan cukong besar.
Geertz memaparkan bahwa terdapat pranata pasar yang terbentuk dalam satu
struktur besar, di pasar terdapat hirarki pedagang yaitu pedagang kecil yang
berhutang ke pedagang besar, dan pedagang yang besar behutang kepada pedagang
yang lebih besar sebagai suatu mekanisme modal, hal ini melibatkan posisi
hirarki dari pedagang tersebut. Pola ini adalah bagaimana pedagang besar
mempelopori pembagian resiko dengan memberi ruang kepada pedagang kecil
berjualan dengan modal darinya.
Pedagang
eceran meminjam uang kontan kepada pedagang yang lebih besar untuk melakukan
jual beli yang lain. Uang kontan ini berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan
kredit. Atau uang kontan menjadi alat untuk membayar kredit agar kredit tetap
mengalir. Pembagian resiko ini bisa memastikan bahwa pedagang besar tidak akan
mengalami kerugian walau dengan untung yang tidak begitu besar. Itulah
sebabnya, barang yang tahan lama cenderung lama berputar-putar di pasar sebelum
sampai kepada konsumen sebenarnya. Bahkan sehelai kain untuk sampai ke konsumen
bisa berpindah sampai 10 kali, dengan kondisi ini tentu harga menjadi semakin
mahal. Maka yang menentukan harga semua barang bukannya hukum permintaan atau
produksi tetapi pedagang besar, jika pedangan besar menaikkan harga maka secara
otomatis harga akan naik.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah operasi pasar bisa menurunkan harga? Jelas sekali tidak
karena harga bukan ditentukan di pasar. Penentu harga adalah pedangan besar,
lalu harga tersebut dinegosiasikan pula antara penjual dan pembeli. Kekuasaan
yang besar dimiliki pedagang besar membuat dia bisa berbuat apa saja, termasuk
menciptakan kelangkaan dengan tujuan menaikkan harga. Karena itu, stabilitas
harga di Indonesia tidak bisa ditentukan dengan menggunakan teori produksi, suply
and demand apalagi melakukan operasi pasar.
Penataan
yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pedagang besar dengan membuka akses
produksi ke pedangan kecil, memutuskan tali rantai yang panjang antara produsen
dengan konsumen, dengan demikian barang tidak perlu mutar terlalu lama untuk
sampai ke konsumen dan terntu akan berpengaruh terhadap harga. Sekian