Oleh Rawa El Amady
Heboh masalah kenaikan BBM (Bahan
Bakar Minyak) cukup ramai di media, terutama di televisi. Saya heran juga, mengapa isu kenaikan BBM ini
lebih penting dari isu pemberantasan korupsi, isu rencana pemotongan wewenang
KPK, isu monopoli dan oligopoli pada sistem distribusi makanan pokok, dan
tentu isu mekanisme subsidi yang benar dan transparan. Sayapun tidak habis pikir mengapa mahasiswa
dan buruh menjadi mortir penting dalam menggalang perlawanan kenaikan BBM
ini.
Titik permasalahan BBM ini
menurut saya pada empat hal, pertama, perbaikan sistem produksi
minyak di pertamina. Indonesia seharusnya tidak pantas lagi menjadi negara
pengimpor minyak, atau pengekspor minyak mentah. Indonesia sudah seharusnya
menjadi negara pengelola bahan bakar minyak jadi, sehingga kebutuhan dalam negeri
terpenuhi dan tidak terpengaruh harga pasar internasional. Saya yakin jika
pemerintah berpikir panjang pasti akan melakukan investasi bidang ini, termasuk
juga investasi produksi lainnya seperti sawit, karet dan sebagainya. Harusnya
sudah ada pelarangan mengekspor minyak mentah ke luar negeri melalui
undang-undang. Dengan demikian beban
subsidi menjadi sangat berkurang karena selisih harga pasar tidak berlaku.
Hanya harus diikuti oleh tata niaga yang baik, agar minyak tidak diseludupkan
keluar negeri dan semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya.
Kedua, politisasi minyak
sebagai agenda politik. Apa yang terjadi dan heboh sekarang ini, adalah
terjadinya politisasi terhadap BBM. Saya melihat dua agenda politis yang
melibatkan isu BBM ini. Pertama,
agenda rezim yang berkuasa memanfaatkan kenaikan minyak dunia sebagai bagian
terintegrasi melakukan kebijakan yang tidak populer, dan sekagus melempar kebijakan
yang “pro rakyat” melalui BLTS (bantuan
langsung tunai selektif {?} ).
Nah perlawanan sekarang ini sebenarnya menurut
saya perlawanan politik justeru untuk menggagalkan kebijakan BLTS itu, karena
BLTS tersebut terdistribusi melalui jaringan rezim yang berkuasa yang sudah
dipastikan bisa meraup suara hingga 15 juta lebih penduduk penerimanya.
Kebijakan ini secara politis tentu sangat menguntungkan bagi rezim berkuasa dan
sangat ditentang oleh lawan politik.
Dikhawatirkan lagi, sebagaimana
pelpres (pemilihan presiden) sebelumnya,
sebelum pelpres harga minyak pasar dunia menurun dan secara otoamatis pemerintah
menurunkan harga minyak. Jika ini terjadi maka multiplayer efeknya bagaikan
gunung es bagi rezim berkuasa. Sejarah ini sudah pernah terjadi pada pelpres
sebelumnya.Pada posisi ini para lawan
politik akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan agar kenaikan BBM tidak
terjadi, sehingga kebijakan BLTS dan kebijakan penurunan harga minyak tidak
juga terjadi. Jika rezim mengikuti maka keuntungan besar bagi lawan politik
atau oposisi.
Justeru yang sangat membingungkan
saya adalah tampilnya para mahasiswa dan buruh sebagai bumper oposisi untuk
melawan kebijakan pemerintah. Seharusnya hal ini tidak dilakukan oleh mahasiswa
dan buruh, mahasiswa dan buruh seharusnya berdemo bukan pada aspek kenaikan
BBMnya tetapi mendorong kebijakan hulu seperti mendesak terbitnya UU yang
melarang ekspor minyak mentah dan memproduksi minyak di dalam negeri sendiri,
perbaikan sistem subsidi dan perbaikan tata niaga pasar sehingga kita tidak
melihat lagi prilaku pasar yang aneh ini dan bisa menekan berkembangnya
monopoli dan oligopoli. Menurut saya, ada kecenderungannya mahasiswa sekarang justeru
menjadi korban dari isu BBM ini.
Pada saat pemerintah masih
mengekspor minyak mentah dan membeli minyak jadi, maka saya termasuk yang
mendukung kenaikan BBM dengan alasan bahwa BBM 80% lebih dipakai oleh orang
kaya, memberi subsidi BBM berarti mensubsidi orang kaya. Namun tetap perlu
dirumuskan agar subsidi BBM tetap berlaku bagi 20% nya lagi, diantara adalah para
sopir, para nelayan dan masyarakat miskin pemakai BBM.
Ketiga, sistem subsisdi. Problem
terbesar dari subsidi BBM adalah subsidi ditujukan kepada minyak , bukan kepada
orang yang membutuhkan subsidi. Minyak disubsidi secara merata sehingga siapa
saja yang memakai BBM akan dapat subsidi, sebab itu subsidi BBM sama saja
dengan subsidi bagi orang kaya dan tentu saja tidak tepat sasaran. Pemerintah seharusnya memikirkan sistem
subsidi yang berfokus pada subjek sasarannya, bukan kepada pada minyak, pada
pupuk atau lainnya. Dari era Soeharto sampai SBY ternyata pemerintah
betul-betul tidak cerdas dalam merumuskan sistem subsidi.
Saya menyarankan agar ada single number bagi warga miskin
tersebut. Berdasarkan nomor tersebut, maka akan diperoleh data riil yang pantas
mendapat seluruh subsidi. Single number ini sebagai pengendali utama, dimana
tidak berlaku subsidi harga yang merata, tetapi pemerintah yang membayar
transaksi bagi penduduk yang mendapat single number sebagai orang miskin ini.
Misalnya, harga minya dipasaran tidak berlaku subsidi, tetapi bagi penduduk
miskin misalnya supir oplet yang mempunyai single number dan bisa dicek
kebenaran dan kesahiannya, ketika terjadi transaksi secara otomatis terjadi
pengurangan pembiayaan karena dibayar oleh negara.
Keempat, perbaikan tata
niaga pasar di Indonesia. Pada tulisan sebelumnya
yang saya tulsi di bloh saya http://www.myrawaelamady.blogspot.com/2011/08/memproyekan-harga.html
bahwa tata niaga pasar di Indonesia ini
dikuasai oleh pedagang besar.
“Geertz memaparkan bahwa terdapat pranata
pasar yang terbentuk dalam satu struktur besar, di pasar terdapat hirarki
pedagang yaitu pedagang kecil yang berhutang ke pedagang besar, dan pedagang
yang besar berhutang kepada pedagang yang lebih besar sebagai suatu mekanisme
modal, hal ini melibatkan posisi hirarki dari pedagang tersebut. Pola ini
adalah bagaimana pedagang besar mempelopori pembagian resiko dengan memberi
ruang kepada pedagang kecil berjualan dengan modal darinya. Resiko hanya
ditimpakan kepada pedagang kecil”
Suatu kali saya melakukan investigasi ke petani dipinggiran kota, ini
saya lakukan mengapa fluktasi harga begitu mudah dan tidak terjadi persaingan
harga di pasar. Sangat mengejutkan saya, bahwa petani pinggiran kota ini tidak
bisa masuk pasar karena ada dinding besar yang menghalanginya. Disinilah peranan
pedangan besar tadi untuk mengontrol harga, maka ketika ada isu naik BBM harga
langsung naik, karena yang menentukan harga satu orang saja, beginilah berlangsung terus.
Masyarakat khususnya mahasiswa harus nya menyadari problem besar ini,
dengan mengetahui problem yang sebenarnya maka demontrasi menjadi sangat
bermakna. Kenaikan BBM hanya pemicu saja, tetapi negosiasi dibalik itu, itulah
sebenarnya yang terjadi.
Nah bagaimana?
8 komentar:
bagus sekali analisanya...
saya tertarik dgn paragraf terakhir yg menyebutkan sebenarnya yg mengontrol harga di pasar ditentukan oleh satu orang saja....
ah ternyata...ternyata...
salam hangat bang Rawa
terima kasih mba Hilda, sudah mampir dan meninggal komentar yang menyenangkan hati.... terima kasih dan salam hangat ya ...
mensubsidi para subjek berstatus miskin akan memicu warga mempertahankan/memelihara status miskin, sehingga miskin menjadi semu bahkan multystandart
Menutup keran import juga sulit karena para pebisnis kurir ekspor kalau tidak melakukan import maka tidak balans biaya operasinya.
BBM itu bukan mesubsidi orang kaya. Tetapi sistem telah didisain untuk mensubsidi orang kaya. buktinya; pinjaman bank, kartu kredit, potongan harga kursus-kursus dimudahkan untuk pegawai-pegawai negeri/swasta dan pengusaha sukses. Mungkin maksudnya agar termotivasi menjadi orang kaya, kalau mensubsidi orang miskin maka semua lapisan masyarakat akan menstatuskan dirinya miskin. kwakwakwakwa.....agar subsidi tak pernah henti mengalir.
setuju pak :::::
BBM [BENAR-BENAR MEMBINGGUNGKAN]
terima kasih bung Fadil udah mampir ke blog saya, pada dasarnya perbedaan pendapat itu menunjukkan bahwa kita masih dinamis, hanya saja tugas negara memang memudahkan kehidupan warganya .....
sepertinya pandangan bung fadil sangat diperngaruhi oleh gagasan pasar bebas... dimana peran negara dipandang melemahkan warganya
pak sabarno, terima kasih sudah mampir... kapan nih ngopi2
bukannya yg ambil manfaat blts tahun lalu
adalah golkar yg koalisi sama sby
yang paling untugn itu Bakri karena beban lapindo ke negara ... tq ya sudah mampir
Posting Komentar