TNI Efisisen Berbasis Struktur yang Strategis


 Rawa El Amady

Tahun 1992 dalam sautu diskusi terbatas saya mengajukan dua hipotesis tentang masa depan keterliabtan TNI dalam politik. Pertama, TNI (ABRI) akan tetap mempertahankan kekuasaan politiknya melalui pendekatan instabilitas nasional. Hasil penelitian saya, bahwa pemberontakan di Indonesia menjadi pintu utama masuknya TNI dalam politik.

Kedua, penggantian pimpinan nasional akan terjadi secara tidak wajar. Ini terjadi karena tingginya konflik perebutan kekuasaan di petinggi TNI. Keadaan ini telah terjadi di beberapa negara dunia yang dikuasai rezim tentara.

Saya ingin sekali memperbaharu hipotesis saya tersebut, karena era reformasi dan demokratisasi sudah sedemikian berkembang. Demokratisasi memberi ruang semakin besarnya kedaulatan rakyat. Semakin besar kedaulatan rakyat maka semakin kecil peran negara, semakin kecil peran negara maka semakin cepat proses terbentuknya tentara professional. Tetapi apakah benar demikian keadaannya. Seharusnya, menguatnya demokratisasi di Indonesia sudah menjadi jembatan emas bagi pimpinan TNI untuk membawa tentara ke tentara professional.

Benarkah demikian? Menurut saya sesuai dengan semangat sejarahnya TNI akan selalu mencari peluang untuk berkuasa di Indonesia. Walaupun bentuknya berubah-ubah, melalui kekuasaan langsung dalam pemerintahan atau secara tidak langsung. Terbukti ketika sipil masuk ke pemerintahan stabilitas pemerintahan tidaklah bertahan lama. Habibie hanya 1 tahun lebih sedikit, Gus Dur tidak tidak sampai akhir jabatan, Megawati hanya walau sampai akhir jabatan tetapi hiruk pikuk politik begitu ganas. Masuknya SBY sebagai presiden secara otomatis ruang gerak tentara dalam politik kembali lagi, walau dalam format yang berbeda dengan orde baru.


Beban sejarah sangat kuat bagi TNI untuk terjun ke politik dan beban itu tidak dihapus begitu saja. Bayangkan sebuah organisasi yang mengklaim paling berjasa terhadap republik ini, lalu dikembalikan ke barak dan tidak dibenarkan menyentuh kekuasaan.

Jika TNI benar-benar mau memposisikan diri sebagai tentara propesional maka ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh tentara:

Pertama, menyerahkan permasalahan politik, bisnis dan pressure group ke menteri pertahanan dan presiden sebagai arena politik dan hukum. Panglima hanya mengurusi internal TNI terutama peningkatan kemampuan teknis, modernisasi peralatan tentara dan peningkatan kesejahteraan tentara.

Kedua, mendefinisikan kembali fungsi territorial. Fungsi territorial dahuluanya merupakan andalan utama secara keorganisasian tentara untuk memperkuat kekuatan politik TNI. Organisasi tentara sampai ke desa-desa bernama Babinsa. Konsep teritorial ini sudah tidak relevan dengan perubahan sistem politik dan undang-undang di era reformasi. Selain itu, Konsep territorial ini bukan hanya mubazir secara fungsional tetapi juga mubazir secara finansial. Berapa komandan dan kantor harus dibiayai. Saya mengusulkan konsep terotorial dirumuskan berdasarkan konsepsi geografis, geostrategis dan geopolitik internasional. Oleh sebab itu, bukan hanya babinsa yang harusnya dihapus, tetapi kodim dan koramil pun harus hanya ada pada daerah strategis saja.

Ketiga, mendefinisikan ulang strategi pertahanan nasional. Selama ini strategi pertahanan nasional lebih fokus ke daratan karena yang memegang peranan adalah TNI AD. Jika Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 80% lautan, ratusan ribu pulau dan jarak yang sangat jauh. Indonesia seharusnya mengandalkan angkatan udara dan angkatan laut bukan angkatan darat. Angkatan darat seharusnya menjadi kekuatan utama pendukung bagi pertahanan Indonesia, sementara kondisi strategis dibebankan kepada Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Belajar dari perang Irak dan Afghanistan yang mengandalkan teknologi, angkatan udara menjadi sangat penting.

Angkatan darat tidak perlu ada sampai ke desa-desa cukup ada ditempat-tempat strategis, seperti di Irian Jaya khususnya perbatasan dengan Papua Nugini, di perbatasan Timur-Timor, di Aceh, di pesisir Sumatera Barat, di pesisir pulau Jawa yang berhadapan dengan laut internasional Bengkalis, Batam dan Maluku. Konsep tetitorial yang berdasarkan dengan pendendakan starategis, maka biaya yang tadinya untuk operasional struktur territorial bisa dialihkan ke peralatan dan kesejahteraan. Selain itu, tentara ditingkat babinsa, koramil, diragukan kemampuan tempurnya karena terlalu lama bersama masyarakat sipil daripada bergaul dengan keahlian senjatanya.

Pertanyaannnya apa tentara mau? Masak iya tentara ada di desa menjaga desa dari hama babi..!!

Tidak ada komentar:


my lovely wife