Wajah Birokrat di Uang Rakyat


 
Rawa El Amady

Tampa ragu-ragu, hampir semua rakyat sepakat bahwa penganggaran Indonesia bukan anggaran rakyat, tapi anggaran pejabat.  Buktinya jelas bahwa korupsi terjadi mulai dari level pemerintahan paling  rendah, hingga  yang paling tinggi. Anggaran pemerintah ratusan triliun di tingkat pusat, puluhan triliun di daerah.  Di Riau saja anggaran provinsi mencapai enam trilun, kabupaten kota hampir 20 triliun.  Sementara anggaran dana hibah mencapai 1,5 triliun atau 25% dari anggaran yang tidak jelas  untuk siapa. 


Menurut saya  ada tiga faktor, yang menyebabkan hal ini terjadi.  Pertama, perinsip penganggaran kita tidak berbasis visi dan missi. Seseorang yang mencalonkan diri menjadi pejabat tidak memiliki idiologi yang akan diperjuangkan. Baik itu idiologi politik, maupun idiologi perjuangan, akibatnya ketika terpilih menjadi pejabat yang diperjuangkan kepentingan pribadi semata. 


Contoh konkrit seorang presidien yang mempunyai missi dan visi yang jelas adalah Presdien Habibie yang mempunyai idiologi demokratisasi, bisa dibayangkan jika yang menggantikan Soeharto bukan Habibie maka demokrasi dan otonami daerah  mungkin saja belum kita rasakan sekarang. Bahkan Gus Dur dengan segala kekurangannya merupakan pemimpin yang mempunyai idiologi humanisme, dengan tegas menghapus semua diskriminasi terhadap minorita di Indonesia. Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad merupakan contoh gubernur yang mempunyai idiologi dan visi ke depan sehingga seluruh penganggaran yang dibuat merujuk kepada kepentingan visinya yang out put dinimkati rakyat. 


Ketidaan visi ini salah satu faktor penyebabnnya  partai politik  yang tanpa idiologi, rekrukmet anggotanya berbasis materi (uang) dan nepotisme. 


Kedua, proses penganggaran kita  berbasis   pengembalian modal politik. Seorang calon pejabat harus mengeluarkan uang banyak untuk menduduki satu jabatan,  maulaid ari ketua RT harus mengeluarkan uang  untuk mempercepat penganggatannnya, begitu terus ke ketua RW, kepala desa, camat, kepala dinas, dan seterusnya semuanya mengeluarkan.  Seorang bupati, wali kota, gubernur, anggota dewan sudah dipastikan  mengeluarkan uang yang banyak. Tidak terjadi mobilisasi partisipasi untuk seorang calon pejabat, sebagaimana yang  pada Obama, atau mungkin juga pada Jokowi.  Maka setiap penganggaran sudah tentu bertujuan untuk mengembilkan modal politik tadi. Sebab itu, korupsi menjadi pilihan satu-satunya para pejabat di Indonesia untuk mempermudah korupsi maka anggaran harus berbasis pejabat, bukan rakyat.


Ketiga, masih lemahnya mekanisme partisipasi dan transparansi. Partisipasi dalam pengannggaran akan  berkembang dengan baik jika dua point diatas sudah tidak ada, dan tentu harus didukung  untuk melibatkan masyarakat pada semua proses pengganggaran. Problem terbesarnya sekarang ini adalah, lembaga public tidak menyediakan mekanisme partisipasi dan transparasn yang terukur sehingga proses transparansi berjalan sebagaimana mestinya. 

Proses Penganggaran

Proses penganggaran yang benar harus melibat tiga konponen penting, yaitu pemerintah, legislative dan rakyat dalam semau prosesnya. Pemerintah sebagai penyelengaran anggaran mulai dari perancangan hingga ke pelaksanaan, rakyat memberi in put, mengkritisi dan mengawasi  berdasarkan daerahnya masing-masing. Sementara legislative memastikan bawah aspirasi dari rakyat di daerahnya tersebut masuk dalam rencana anggaran, dilaksanakan dengan benar dan dinikmati oleh rakyat secara langung.


Kecenderungannya  sekarang, memang proses penganggaran dari rt, rw dan kelurahan/ desa terlaksana tetapi hanya formalnya saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa usulana dari desa dan kecamtan hilang di kabupaten dan provinsi. Lalu muncul anggran baru yang siluman. Legislatif pula berfungsi sebagai birokrasi yang mengusulkan anggaran untuk kepentingan kembalinya modal politik dan bantuan ke daerah pemilihannya yang menurut saya sebenarnya justeru korupsi legal. 

“Rakyat” berbondong-bondong dekat ke pejabat lalu meminta jatah kepada pejabat tersebut, dengan berbagai alasan bahkan sharing korupsi. “Rakyat” ini ikut mendorong pejabat korupsi karena  pejabat setiap hari menerima kunjungan banyak “rakyat” yang semuanya meminta bagian atas jabatannya tersebut.
Sebuah anggaran  harus mencerminkan visi dan missi pemimpin dan kondisi daerahnya. Misalkan, pemimpin mempunyai visi untuk Indonesia cerdas, sudah tentu anggaran pendidikan, penelitian dan pengembangan masyarakat harus tertuang secara jelas dan menjadi perioritas. 


Hal terpenting lagi adalah bahwa anggaran harus mencerminkan kondisi daerah, misalkan Indonesia sebagai Negara maritime maka anggaran maritime di semua sector harus menjadi perioritas. Riau misalnya kondisi daerah adalah pertanian tanaman kerasa dalam hal ini sawit, dan karet maka seudah seharusnsya program untuk sawit dan karet menjadi periotiras program bukan bangun gedung-gedung indah  hanya untuk kantor pejabat. Seharusnya,  gedung besar yamg dibangun di Riau  bertemakan karet dan sawit, mulai dari tempat riset, ekspo dan lain-lainnya.  Karena Riau berbasis pertanian tanaman keras yang mayoritas petani sawit dan karet. 


Sekian, semoga bias menjadi bahan diskusi yang bermanfaat.

MISTERI HARI KELAHIRAN



rawa el amady

Era sekarang adalah era digital, semua ditentukan oleh angka.  Kelahiran dan kematian ditentukan oleh angka, rekening, telepon ,  internet, Koran,  jaminan sosial, ktp, anggota keluarga, bahkan rumah pun ditentukan oleh angka,  dan seterusnya.  Tanpa angka-angka tersebut semuanya tidak bisa diterima di manapun, dan tidak bisa hidup normal.   Oleh karena itu, di era digital sekarang ini tentu sulit dibayangkan  kalau anda tidak mengetahui tanggal, bulan dan tahun lahir anda.  Tentu anda tidak bisa sekolah, tidak bisa punya kartu tanda penduduk , kartu kredit dan selanjutnya, selanjutnya. Dunia seperti berhenti.  Angka-angka itu yang menentukan hidup anda.

Angka-angka itu mengatur hidup anda, angka menyatakan anda tua atau muda, angka juga mengatakan anda kaya atau miskin, angka juga yang menentukan anda layak menjadi istri atau suami. Angka menghantui kita ke mana-mana dan di mana-mana.  Bisakah anda lepas dari angka? Ternyata tidak bisa…!

Coba anda bayangkan jika seorang ibu menyampaikan sesuatu ke anaknya seperti ini
        “Wa,  kamu lahir saat fajar pagi jumat, tapi tanggal dan tahunnya emak lupa. Waktu itu Soeharto diangkat menjadi presiden”
Tentu pernyataan sang Ibu bagai geledek bagi si anak. Sedih dan membingungkan. Seumur hidup tidak bisa menjelaskan angka yang harus ditampilkan di persyaratan administrasi sekolah, catatan di pemerintahan dan seterusnya-seterusnya. Si anak hanya bisa membayangkan  sejak tahun 1965, tetapi di tahun 60-an hingga 70-an Soeharto sudah empat kali diangkat menjadi presiden, nah pada saatnya.
Apa yang dilakukan si anak, sejak tahu bahwa angka yang tertera di ijazah sekolah dasarnya hanya angka yang dikarang oleh kakak karena terdesak atas permintaan kepala sekolah.  Apa yang dilakukannya kemudian, dari waktu ke waktu tak henti-hentinya si anak mencari tahu tanggal, bulan dan  tahun kelahirannya. Tapi tidak ada yang mampu menjelaskan satu pun, semua menjelaskan dengan tanda-tanda semata.  Ada yang katakan, tiga bulan setelah kakek meninggal, tapi kakek meninggal kapan tidak ada penjelasan, ada yang bilang masa krisis banyak orang hanya makan ubi kayu saja,  ada juga yang bilang masa PKI dikejar-kejar. Seterusnya, seterusnya….  Itu juga lah sebabnya si anak tidak pernah berniat merayakan ulang tahunnya setelah  mendengar cerita ibunya itu.
Apa yang terjadi hingga kini, rasa bersalah terus menerus. Rasa bersalah kepada banyak pihak yang dengan mudahnya menulis tanggal, bulan dan tahun lahirnya……  tapi tidak ada yang bisa dilakukan lagi….
Dan itu aku…… lelaki yang tidak tahu  kapan dilahirkan… 
menyedihkan bukan????!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

my lovely wife