Warga Desa: Tanah Kami Diambil Paksa

Opini Rawa El Amady 

Konflik lahan di pedesaan pada masa Orde Baru merupakan isu penting yang pelu diungkapkan kembali pada era reformasi sekarang ini. Betapa tidak, kemiskinan, migrasi ke kota yang semakin menjadi-jadi sekarang ini bisa jadi bersumber dari permasalahan ini. Berbeda dengan era reformasi dimana negara agak menahan diri untuk terlibat langsung pada proses eksploitasi lahan masyarakat.

 Pada era Orde Baru, negara dan industri justeru sebagai pelaku utama eksploitasi lahan rakyat. Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang menyamar.

 Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m2. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal. Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak langsung membeli tanah tersebut, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal.
Atau bahkan pemerintah memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun.

Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk menjual tanah. Peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual.

Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa, rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di desa.

Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus, kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa.

Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan

UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.

Kedua, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta kegiatan industrialisasi lainnya.

UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.

 Pertanyaannya, era reformasi belum menunjukkan bukti konkrit pada masyarakat desa. Belum ada kebijakan lahan pada masyarakat yang lahannya diambil secara paksa oleh negara dan industri. Di desa reformasi berarti memilih presiden, gubernur dan bupati secara langsung, lebih dari itu belum ada……

 (tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di blog pribadi saya lainya)

Tidak ada komentar:


my lovely wife