Rawa El Amady
Saya paling miris melihat MUI (Majlis Ulama
Indonesia), oleh rezim Soeharto ulama dijadikan organisasi non pemerintahan
(NGO), menandingi Muhamadyah, Nahdatul Ulama, Perti, ICMI dan organisasi Islam
lainnya. MUI bukan institusi negara yang bertugas sebagai institusi penting bagi agama Islam dalam menghadapi
banyaknya kepentingan umat Islam. Bagi saya ini menyesatkan karena
posisi ulama yang seharus menjadi tokoh rohaniah penting yang sejajar
dengan lembaga negara, tetapi justeru diturunkan
menjadi organisasi yang berfungsi untuk membela kepentingan ulama semata.
Apalagi jika pengurus MUI didominasi oleh utusan organisasi Islam tertentu, maka
MUI menjadi perpanjangan tangan organisasi tersebut.
Saya sangat sedih karena
organisasi-organisiasi Islam, tokoh-tokoh Islam, terutama pengurus MUI sendiri
tidak menyadari hal ini. Ulama masih asik saja dengan posisinya sebagai organisasi
kepentingan, yang sekelas dengan organisasi Islam lainnya. Reformasi sudah
sudah berlajaln 13 tahun, tapi tidak ada langkah konkrit dari para ulama untuk
mereformasi posisinya sebagai ulama yang setara dengan umarah. Harusnya, begitu munculnya reformasi para
ulama mengungat keberadaan MUI sebagai organisasi agama dan dinaikan status
menjadi lembaga negara.
Semua menyadari bahwa MUI dibuat dan didirikan oleh
rezim Soeharto sebagai perpanjangan tangan kekuasaan otoriter Soeharto untuk
memperkuat kekuasaannya. Ulama menjadi alat bagi pemerintah untuk
membatasi ruang rakyat dengan
menggunakan ayat-ayat Al Qur’an. Maka pengurus MUI dianggkat dari
organisa-organisasi Islam dan pengurus MUI dari pusat sampai ke Kota
/Kabupaten. Proses pemilihan ketua MUI dilalui
secara politis, belum sesungguhnya aberdasarkan kefasihan agama Islam.
Memang sejak reformasi, MUI bisa
dikatakan tidak lagi mewakili kepentingan rezim. Tetapi pendapat-pendapat yang
dikeluarkan MUI sering dipertanyakan oleh beberapa pihak baik itu disalurkan
melalaui media massa maupun melalui jejaringan sosail dan pemabahsan di kedai
kopi. Kekuatan pendapat dari MUI kurang
menjadi pedoman bagi masyarakat Islam, bahkan oleh negara. Seperti perbedaan
pendapat menteri agama dengan MUI tentang perayaan tahun baru.
Menurut saya, tidak ada pilihan bagi ulama agar mereformasi MUI tersebut dengan
membubarkan MUI sekarang lalu meminta negara membentuk lemabaga Ulama yang
setara dengan lembaga negara lainnya, sepeti KPK, KY, Mahkamah Konstitusi dan
lain sebagainya. Majlis Ulama tidak perlu seperti organisasi, jadi cukup ada
satu lembaga saja yang terpusat di ibu kota negara. Kalau anggotanya 7 orang
tau 13 maka orang tersebut adalah orang
terbaik dinegeri ini yang bisa menjadi panduan bagi masyarakat Islam dalam
memandang beragama.
MUI yang sekarang agak naif, karena semua orang
yang duduk di organisasi Islam berhak menyandaang status ulama jika menjadi
pengurus MUI. Apalagi MUI banyak dari pusat sampai ke kota dan Kabupaten.
Padahal untuk menjadi ulama tentulah pengetahuan agamanya sudah cukup dalam
tentang Islam, setidaknya dia hafal Al
Qur’an, hafal Hadist saheh dan dapat mengerti secara jernih dan jelas
tentang permasalahan agama. Dengan demikian departeman agama tidak perlu lagi
melaksanakan sidang setiap mau puasa dan
mau lebaran (sidangnya kayak sidang di DPR) karena fungsi-fungsi tersebut bisa
secara jelas dilaksanakan oleh MUI versi baru.
Nah, siapa setuju?