SALAH URUS DI PERBATASAN



Negara yang Memberatkan
“sejak kebijakan pebatasan hubungan dangang antara penduduk di pesisir bengkalis dengan Malaysia di larang, tejadi penurunan kesejahteraan nelayan, karena ikan harus dijual ke dumai yang jarak tempuhnya lebih jauh yang mengakibatkan ikan membusuk dan harga ikan yang rendah. Sebelum ada larangan penjualan ikan secara langsung ke Malaysia, nelayan lebih sejahtera, karena transasi ikan di tengah laut  sehingga menjual ikan dalam keadaan segar dan harga ikan dijual dengan harga ringgit yang nilai lebih tinggi” (wawancara dengan nelayan, 2002)

Kutipan hasil wawancara tersebut menggambarkan banyak hal, menurut interpreatsi saya pertama,  kekeceawaan kepada bangsa dan negara Indonesia. Kekecewaan ini mempunyai dampak yang significan bagai menumbuhkan rasa kebangsaan. Bangsa ini membuat hidup mereka lebih sulit sehingga menghilangkan rasa kebangaan sebagai warga negara Indonesia

            Kedua, kebijakan pelarangan transaksi di laut tersebut akan menimbulkan perlawanan baik secara terang-terangan, maupun secara diam-diam. Misal, tidak menghiraukan informasi tentang Indonesia dengan tidak mengakses informasi tentang Indonesia di televisi, radio dan internet. Maka sangat wajar jika penduduk di daerah perbatasan tidak tahu siapa presiden Indonesia, siapa gubernur dan budpatinya, tidak lapal lagu Indonesia dan tidak sedikitpun tentang Indonesia.
Ketiga, akan menyuburkan penyeludupan, baik berupa memasukan barang ke Indonesia maupun menjula barang ke Malasyia dan Singapura. Ini terjadi karena penduduk perbatasan sudah tentu tidak akan melakukan pengawasan terhadap penyeludupan tersebut karena memang tidak menguntungkan baik ekonomi maupun sosial. Selain itu, penduduk justeru merasa lebih penting bertransaksi ke pihak luar daripada ke dalam, karena selain tidak tersedia harga juga mahal. 

Keempat, kebijakan Indonesia tidak berorientasi pada kepentingan kesejahteraan masyarakat tetapi berorientasi pada kekuasaan dan kedaualatan negara yang hanya dipahami oleh petinggi negara saja. 

Kelima, pembangunan pertahana secara fisik saja  akan memudahkan terganggungnya kedaulatan negara, karena rendahnya rasa kebangsaan penduduk perbatasan disebabkan negara yang tidak membela kepentingan mereka.

Lima interpretasi diatas  secara jelas mengambarkan permasalahan di wilayah perbatasan Indonesia. Pertama,  tidak sinerjinya konsep kebangsaan dengan kesejahteraan rakyat.  Pemerintah merubah budaya transaksi ekonomi dari budaya lokal ke transaksi terpusat. Akibatnya  penduduk tempatan kehilangan akses ekonomi dan meningkatnya kemiskinan.  Akses ke pasar luar dihapus sementara akses dalam negeri tidak diadakan. 

Kedua, menyempitkan ruang kewarganegaraan. Ada semacam ancaman yang tidak bisa dirasakan secara langsung, bahwa melakukan transaksi ekonomi ke pihak luar tanpa hadir negara merupakan indikasi melemahnya nilai kebangsaan. Padahal nilai kebangsaan berkorelasi positif terhadap tingkat kesejahteraan dan kehadiran negara untuk mendapat kemudahan-kemudahan. Kita belum melihat negara hadir untuk penduduk yang ada diperbatasan tersebut, bahkan cenderung melihat penduduk sebagai ancaman karena sering bertransaksi ke luar tersebut. 

Ketiga,  salah paham tentang konsep pertahanan, pertahanan selalau diartika kehadiran perangkat militer, baik TNI  maupun senjata.  Padahal pertahan yang paling cocok untuk diwilayah perbatasan adalah pertahanan semesta. Penduduk perbatasanlah menjadi unjung tombak pertahana Indonesia. Pada kenyataannya, personil TNI dan senjata di kerahkan, tetapi prilaku korupsi pejabat yang memberi ruang kepada pelaku ilegal loging tumbuh subur. Ekonomi masyarakat di persulit, tetapi diberi akses yang besar untuk menjadi alat ilegal loging. 

Kalau membaca makalah-makalah dan tulisan tentang permasalahan perbatasan, lebih menjurus kepada permasalahan teknis, seperti kemiskinan, infra struktur yang terbatas, dan transaksi ke luar negeri.  Menurut saya permasalah tersebut hanya sebagai efek dari permasalahan yang saya kemukakan tadi.
Negara harusnya sudah merubah cara pandang dalam melihat daerah perbatasan, terutama pemahaman tentang kebangsaan  dan strategi pertahanan. Kebangsaan harus diterjemahkan melalui pemerataan kesejahteraan diseluruh wilayah Indonesia.  Kebangsaan  tidak lagi semata-mata penduduk yang berada diwilayah Indonesia dinyatakan sebagai warga bangsa, tetapi seluruh penduduk harus mendapatkan kesejahteraan dan kemudahan-kemudahan sebagai warga negara Indonesia. Pertahanan harus dipahami sebagai pertahan semesta.

Kesejahteraan Untuk Kedaulatan

Jika demikian keadaannya masih pentingkah mebahas perbatasan? Secara antropologi kata perbatasan  lebih dekat dengan terminologi kekuasaan.  Batas-batas yang  dibuat menjadi petanda besar kecilnya kekuasaan sebuah suku bangsa. Batas-batas tersebut juga merupakan arena pertarungan  sumberdaya ekonomi, meliputi kepemilikan lahan/tanah, serta sumberdaya ekonomi yang ada di dalamnya.  

Termilogi kekuasaan tersebut juga tercermin dalam budaya pertahanan pada masing-masing suku. Misalnya suku dayak, mangkok merah di Kalimantan Barat[1], budaya siri yang dianut oleh masyarakat Bugis, dan konsep-konsep pertahanan dari etnis_etnis yang ada diperbatasan. 

Di luar dari kepentingan kekuasaan, batasan hampir tidak memiliki makna pada karakter dasar kebudayaan manusia. Mengapa demikian, sejarah kebudayaan manusia dimulai dari kebudayaan yang berpindah-pindah, ke mudian ke kebudayaan menetap lalu kembali ke kebudayaan berpindah-pindah dalam format yang berbeda. Seperti yang kita kenal sekarang konsep dunia tanpa batas (borderles).  Manusia hanya dikungkung oleh sistem hukum internasisonal tentang batas kekuasaan suatu negara. 

Uraian diatas menjawab pertanyaan “pentingkah membahas  batas negara?”, bahwa batas negara menjadi penting untuk pertahanan nasional. Tetapi fokusnya  bukan pada perbatasan, karena perbatasan hanyalah sebuah garis  yang memisahkan kedaulatan antar negara.  Persoalan penting yang perlu dibahas adalah bagaimana penduduk di perbatasan merasa bagian dari negara republik  Indonesia. Pertahanan perbatasan adalah faktor pendukung kedaulatan  dari rasa kebangsaan yang harusnya dimiliki oleh penduduk perbatasan. 

Penduduk perbatasan  baru bisa merasa bangga sebagai warga negara Indonesia jika kehadiran negara mempunya arti positif untuk kesejahteraan, kemudahan dan kenyamanan. Tentu langkah penting yang perlu dilakukan adalah pertama, perbaikan akses pendidikan. Bahwa seluruh warga perbatasan harussampai ke pendidikan tertinggi yang dibiayai negara.  Negara harus hadir untuk penyelenggaran pendidikan hingga perguruan tinggi. 

Kedua, negara memfaslitasi transaksi ekonomi di daerah perbatasan. Jika akses ke pasar dalam negeri terbatas, seperti di Bengkalis dan Kepulauan Riau, maka negara harus memberi ruang transaksi ekonomi tersebut dengan tidak menggangu kedaulatan negara.  Misalnya di tengah laut disediakan fasilitas penanan transaksi dan perlidungan bagi nelaya atas kejahatan perdagangan mereka.  Sehingga nelayan tidak perlu lagi ke Dumai untuk memenuhi persyaratan negara dalam transaski ekonomi. 

Ketiga, infrastruktur infomasi dan jalan. Ini penting untuk membuka akses bagi penduduk perbatasan untuk mendapat kemudahan sebagai warga negara Indonesia.

Keempat,  negara harus membangun metoda pertahanan yang berbasis kearifan lokal. Bukan semata-matahan dari TNI dan polisi saja.

Kelima, sudah sepantasnya pemerintah menyedikan garis satelit di batas negara tersebut, dengan basis satelit pergerikan kecilpun bisa diketahui. 

Keenam,  pemerintah harus menyadari bahwa basis budaya diperbatasan adalah berada dalam geneliogi. Bahwa mereka yang ada di Malaysia, Timor Leste mempunyai hubungan keluarga yang kuat dengan warga perbatasan di Indonesia. Sebab itu lalulintas perbatasan yang berbasis keluarga dan budaya ini harus apresiasi secara cermat sehingga hubungan tersebut justeru memperkuat hubungan antar negara dan perlindungan atas kedaulatan negara.
Sekian, dan terima kasih.


[1] Mangkok merah adalah, yaitu sebuah wadah sejenis mangkok keramik berwarna putih yang diisi darah segar dari binatang anjing, bulu ayam, sebatang korek api, dan sepotong daun atap rumbia dikirim secara estafet dari orang ke orang dan dari satu kampung ke kampung lain. Sebagai isyarat bagi penerima mangkok merah tersebut,penerima segera keluar rumah masing-masing lengkap dengan  senjata radisonal untuk melakukan siaga penuh menghadapi musuh serta langsung mencari musuh untuk  dibunuh. Syarifudin Tippe, 2012,  Antropologi  Pertahanan, Sebuah Strategi Human Capital Management di Kawasan Perbatasan, disampaikan dalam Seminar Nasional “Memelihara Cinta di Ujung Negeri” dengan
Subtema: “Peran Strategis Pembangunan Sebatik sebagai Kota Persiapan Mandiri Ditinjau dari Sistem
Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (Himanega) FISIP Unmul, 23 Februari 2012, di Lamin Etam, Samarinda

1 komentar:

ISAR mengatakan...

Hampir semua negara di dunia ini punya perbatasan dengan negara tetangganya.Kalau difikir fikir,seharusnya semua perbatasan itu bakalan Kaya akan ide ide kreatif karena bertemunya dua atau lebih arus kebudayaan dan kebijakan.Tapi kok malah yang muncul permasalahan semua ya....


my lovely wife