Patron Politik Sudah Tidak Diperlukan



Patron politik merupakan struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat yang terbentuk atas kepentingan politik dimana seseorang atau satu organisasi dipercaya sekelompok orang sebagai tempat saluran kepentingan politiknya. Misalnya warga NU mempercayai pengurus NU terutama ketua umum NU sebagai penyalur aspirasinya, sebagai konsekwensi maka seluruh keputusan NU menjadi keputusan seluruh angotanya. Atau seperti yang dilakukan Gus Dur, dimana Gus Dur dipercaya oleh pengikutnya sebagai penyalur aspirasi politiknya, maka apapun keputusan yang diambil Gus Dur dipandang akan didukung sepenuhnya oleh pendukungnya.
Pada negara yang masih paternalistik dan rezim otoriter patron politik ini memegang peranan yang sangat penting, karena tidak semua mempunyai akses dan bisa terlibat langsung dalam proses politik. Untuk memperjuangkan kepentingannya rakyat tersebut diperlukan orang atau pimpinan sekelompok orang untuk memasukan isu kepentingan tersebut ke mesin politik, sehingga menghasilkan keputusan yang memihak kepada kepentingan kelompok rakyat tersebut.
Padahalnya Indonesia telah melalui proses reformasi yang menghantar kepada demokratisasi politik. Demokratisasi secara langsung memotong jalur patronase politik, rakyat bisa secara langsung memutuskan suaranya tanpa bisa diintervensi oleh struktur patronase yang ada. Ini berarti struktur patronase yang berlaku pada masyarakat tradisional dan otoriter dengan sendirinya terabaikan.
Hal lain yang termasuk penting adalah akses informasi yang sangat luas tanpa batas, televisi bisa diakses oleh seluruh rakyat dengan berbagai chanel, begitu juga radio, surat kabar, telepon genggam, dan internet. Rakyat bisa dengan mudah mendapat pelajaran dan perbandingan melalui akses informasi tersebut, sehingga akan menghapus monopoli informasi di tangan patron.
Melalui demokratisasi dan luasnya akses informasi memberi otonomi seluas-luas bagi rakyat untuk mengambil keputusan apa yang dirasa dan dipandangnya baik. Maka secara langsung atau tidak langsung fungsi patron politik tersebut bukan hanya melemah tetapi hampir hapus. Contoh yang sangat jelas adalah kemenangan SBY pada pemilihan umum presiden tahun 2004, begitu koalisi besar yang dibangun oleh Partai Demokrat tahun hampir tidak implementatif secara utuh karena beberapa organisasi sayap, dan anggota partai lain yang mengambil keputusan yang berbeda dengan keputusan partai. Belum lagi, hasil pemilihan Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa kemenangan kedua gubernur tidak mempunyai kolerasi yang positif terhadap kemenangan partai.
Dengan demikian, maka patron politik tidak begitu relevan dengan kondisi keindonesiaan sekarang. Indonesia sekarang bukan lagi negara otoriter dan paternalistik, justeru sebaliknya sifat paternalistik yang melekat pada rakyat Indonesia mulai kabur, dan setiap orang mempunyai otoritas yang kuat atas dirinya dalam menentukan pilihan politiknya. Patron politik hanya pada pengambilan keputusan di legislative karena anggota DPR yang terikat dengan partai dimana dia berasal. Tetapi dalam pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden idiom-idiom patron politik tersebut kurang memberi makna bagi kemenangan calon presiden.
Atas dasar itulah maka saya menyebut mereka hanya patron semu, ini dimaksudkan bahwa patron yang saya maksud bukan arti sebenarnya, tetapi lebih kepada arti kepentingan yang sempit yang tidak sesuai dengan arti sebenarnya. Patron tanda petik diatas dimaksudkan sebagai manipulatif yang dilakukan aktor patron tersebut, yang mengatas namakan kliennya tetapi sebenarnya hanya untuk kepentingannya sendiri,
Klient mengambang yang saya maksudkan adalah rendahnya ikatan antara patron dan klient, dalam hal ini misalnya ketua umum organisasi atau tokoh masyarakat dengan anggota atau masyarakat yang memandang seseoran tersebut sebagai tokoh. Hal mana, anggota organisasi tersebut tidak secara meyakinkan bisa diintervensi dalam hal mengambil keputusan yang sama dengan pimpinannya. Jadi apa yang diklaim oleh pimpinan partai, pimpinan organisasi masyarakat, organisasi profesi, perkumpulan dagang, tokoh agama, tokoh adat, pensiunan tentara dan polisi dan tokoh sosial lainnya melakukan dukungan sudah dipastikan hanya dukungan mengambang yang tidak memiki dukungan suara yang pasti. Jangan patuh kepada tokoh dan pimpinan, bahkan partai berbasis agamapun tidak mampu mempengaruhi rakyat pemilih.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan para presiden agar tidak terjebak dalam kerangka pikir struktural fungsional yang sangat mementingkan patron politik sehingga mengabaikan kekuatan yang riil yang datang dari rakyat. Sering sekali, dukungan politik oleh “patron” poitik ini menjadi arena politik dagang sapi. Karena dukungan partai, dukungan organisasi yang disampaikan pimpinannya menyebabkan keharusan presiden berbagi kekuasaan. Padahal mereka bukanlah kekuatan riil yang mewakili rakyat.***

3 komentar:

rawa el amady mengatakan...

ooo begitu ya...(test)

benblog mengatakan...

sekedar berbagi link aja, bang..
http://setenangpagihari.blogspot.com/2010/09/isi-e-mail-andi-mallarangeng-jubir.html

rawa el amady mengatakan...

ben aku sudah baca, sumber yang menyebarkannya itu harus divalidasi juga Ven,terima kasih ya Ben.. salam


my lovely wife