LSM Pelat Merah

Opini M.Rawa El Amady

Setelah reformasi, para pekerja LSM tidak lagi menyebut dirinya LSM, tetapi menyebut dirinya dengan organisasi non pemerintah (ORNOP). Penyebutan ini diambil dari arti Non Goverment Organisation (NGO) atau organisasi non pemerintah. Secara harpiah semua organisasi non pemerintah dikatagorikan LSM, baik itu atas swadaya sendiri, bantuan asing, bantuan dari pihak swasta, ataupun mengumpulkan dana masyarakat.
Di barat umumnya ORNOP dibangun atas dasar kesalehan sosial karena sudah mampu secara ekonomi. Hadiah nobel misalnya dibangun karena keberhasilan nobel dibidang iptek dan dia menginginkan hal sama dilakukan oleh generasi berikutnya. Perusahaan-perusahaan besar membuat ORNOP untuk kepentingan informasi pengembangan pasarnya seperti Ford Foundation, Tifa dan lain-lainnya. Bahkan negarapun membuat ORNOP, seperti USAID, AUSAID dan lain-lainnya yang bertujuan untuk membantu negara lain secara non G to G (bukan negara ke negara).
Sebelum Indonesia merdeka pendirian ORNOP lebih bercorak pada perlawan kepada penjajah, kita kenal Boedi Oetomo, NU, Muhamadyah dan sebagainya. Tujuannya tidak lain mengorganisir masyarakat agar mempunyai kemampuan yang lebih baik, yang akan dipersiapkan untuk melawan belanda. Bahkan pada awal kemerdekaan berdirinya beribu-ribu laskar yang menjadi kekuatan perang utama bangsa Indonesia untuk berperang.
Pada masa Orde Baru berdiri banyak ORNOP yang secara spesifik melakukan advokasi kepada otoriterisme negara, yang domotori oleh Dawam Rahadjo dan Adi Sasono melalui LP3ES dilanjuktan dengan pendirian PPM (Pusat Pengembangan Masyarakat) walaupun coraknya lebih ke ilmiah yang banyak juga bekerja sama dengan pemerintah, lalu YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) oleh Adnan Buyung Nasution. Selain itu, kita kenal dengan Bina swadaya dan Dian Desa yang menggarap masyarakat desa. Pada tahun 1990-an ORNOP yang bersemberangan dengan pemerintah semakin berkembang yang menjadi motor bagi pembelaan hak-hak warga negara.

Ketika reformasi tiba, ORNOP mendapat tempat dalam sistem hukum negara, banyak pihak mendirikan LSM untuk kepentingan pribadi, disebut dengan LSM Plat Merah. LSM Plat Merah adalah istilah yang dibuat oleh teman-teman pekerja ORNOP untuk menyebut kelompok masyarakat yang masih memakai istilah LSM memakai baju Ornop dan penderitaan rakyat demi kepentingan pribadi.
LSM Plat Merah ini terbagi menjadi tiga katagori, pertama, LSM yang dibuat oleh pejabat di satuan kerja untuk melegitimasi pekerjaannya karena persyaratan undang-undang yang harus melibatkan ORNOP. Maka para pejabat tersebut membuat LSM yang pengurusnya anggota keluarga, yang tujuannya memanfaatkan dana negara untuk kepentingan pribadi.
Kedua, LSM yang dibuat oleh anggota DPR/DPRD baik sebelum menjadi anggota DPR/D maupun setelah menjadi angota DPR/D atau bahkan sudah tidak menjabat lagi sebagai anggota DPRD. Di DPRD Provinsi Riau setidaknya ada 24 anggota DPRD mempunyai LSM, atau mengarap seluruh dinas agar memberikan proyek LSM-nya, maka kita liat ada LSM yang menerbitkan buku setiap saat tapi yang diterbitkan itu hanya berita koran, atau mengambil tulisan orang di koran, termasuk tulisan saya tanpa pemberitahuan.
Ketiga, LSM yang dibentuk orang-perorangan yang menganggur tetapi mempunyai akses informasi yang lebih luas dengan tujuannya mencari uang melalui orang-orang yang bisa ditakutinya karena melakukan kesalahan. Kita sering lihat, ada yang antri di kantor-kantor pemerintah dan kantor DPR/D, perusahaan-perusahaan swasta karena ada tindakan yang melanggara hukum sementara mereka tahu satu informasi tersebut sehingaa dapat mereka ganti dengan kopensasi nilai uang tertentu. Kalau Ketua DPRD mengeluh atas tindakan LSM ini seharusnya DPR/D sendiri mengoreksi diri. Bagaimana keluhannya itu hidup dan berkembang dari tubuhnya sendiri.Seharusnya DPRD bertangung jawab untuk membuat aturan bagi “ORNOP” dalam pemanfaatan anggaran. Termasuk melarang anggota dewan mengajukan anggaran bantuan untuk LMS-nya sendiri.

Nah para pekerja LSM, anda berada di mana?

Tidak ada komentar:


my lovely wife