Konflik Oleh Negara



Rawa el amady

Setiap bulan bahkan hampir setiap hari kita selalu disajikan tanyangan kekerasan antar warga, antar pelajar, antar mahasiswa,  antar kampung, antar suku, antara aliran agama, antar suku, antara masyarakat dengan aparat, kekerasan geng motor dan lainnya.  Persitiwa tersebut hampir merata di seluruh daerah, baik kota dalam hal ini kota jakarta sekalipun apa lagi desa dan pedalaman. 

Para pejabat,  para pengamat dan para pengiat selalu mengambil  kesimpulan  cepat yang berfokus pada kasus per kasus yang sedang  terjadi.  Begitupun penyelesaiannya cenderung bersifat simbolis  hanya melalui proses pertemuan para pemuka masyarakat semata.  Padahal konflik di Indonesia tidak bisa diselesaikan secara simbolis dan parsial.  Penyelesaian secara simbolis berarti membiarkan bibit konflik makin membesar di kemudian hari. Sedangkan penyelesaian secara parsial, tidak akan pernah menylesaikan masalah sesungguhnya, bahkan akan dilelahkan dan memunculkan konflik terus menerus disetiap daerah. 

Konflik di Indonesia adalah konflik struktural, konflik yang sengaja diproduksi oleh negara untuk kepentingan politik dan kapitalisme. Mengapa saya menyatakan bahwa konflik di Indonesia merupakan konflik struktural? 

Pertama,  sejarah kekuasaan di Indonesia adalah sejarah kekerasan dan kebencian.  Sejarah pengantian rezim di era kerajaan di Indonesia  selalu ditandai dengan peperangan dan penindasan terhadap raja-raja yang kalah.  Ditemukan di semua kerajaan di Indonesia yang tumbuh dan berganti ke kerajaan baru karena perebutan kekuasaan. 

Kedua, Sejarah kebencian ini  disambut pula oleh penjajah Potugis, Belanda, Inggris dan Jepang.  Semua penjajah tersebut menanamkan memori penindasan, kebencian dan kecurigaan.  Belanda mengagas politik pecah belah, Inggris yang melakukan kekejamanan pada sejarah pembangunan jalan, jepang dikenal dengan kebengisannya. 

Ketiga,  pada awal kemerdekaan masyarakat dikenalkan pula oleh kekerasan yang dibangun dengan dasar idiologi, Islam, Nasionalis, dan Komunis. Pada tubuh islam sendiri terjadi pula perbedaan mencolok antara muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan garis keras yang berkeinginan mendirikan negara islam.  Sudah antar idiologi tersebut  selalu berhadapan, kemudian di dalam Islam pula antara aliran tersebut juga berhadapan.  Semua ini menjadi sumber utama dari konflik di Indonesia hingga sekarang. 

Keempat, konflik antara militer pusat dan militer daerah, pada awal kemerdekaan panglima-panglima daerah merupakan panglima yang terpisah dengan panglima di pusat.  Panglima daerah ini mememgan kekuasaan penting terhadap sumberdaya ekonomi di daerah. Puncak konflik itu munculnya pemberontakan daerah seperi PRRI, Permeda dan lain-lainnya.  Perebutan antara militer pusat dan daerah ini mempertajam memori kecurigaan, kekerasan dan penindasan karena semakin kaburnya batas antara saudara, musuh dan teman.  Perangan antara militrer pusat dan daerah ini  empunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap penurunan kepercayaan sesama bagnsa, sesama daerah dan sesama suku. Dan tentu meningaktkan kebencian antara etnis karena pada waktu itu panglima yang dipakai untuk menumpas pemberontakan berasal daeri etnis yagn berbeda.  

Selain itu, militer pusat melakukan militerisasi organisasi masyarakat dalam rangka perebutan kekuasaan politik dari rezim sipil Soekarno. Kita mengenal Pemuda Pancasila yang dididrikan oleh  A H Nasution, yang hampir mirim paramiliter, begiktu FKPPI, kemudian organisa karya, di pemerintahan kita mengenal satpol PP yang berfungsi seperti polisi. Selain itu juga didirikan sel-sel organisasi sipil yang dibentuk oleh tentara dan mendapat dukungan sepenuhnya dari tentara. 

Kelima, berkuasanya rezim militer Soeharto.  Soeharto melalui rezim militernya memperdalam memori kebencian sesama bangsa melalui konflik  idiologi memberi kesempatan untuk terjadinya  pembunuhan massal  kepada idiologi berbeda.  Soeharto mempertajam konflik tersebut melalaui perusakan sistem sosial di seluruh Indonesia dengan penggantian model pemerintah terkecil yang berbasis adat menjadi seragam menjadi desa. Tujuannya tidak lain adalah menciptakan ketakutan massal dan eksploitasi sumber daya ekonomi masyarakat, termasuk tanah adat, dan sumber ekonomi lainnya.  Diciptakan tokoh baru yang merupakan perpanjangan tangan rezim yang bisa memperuncing perselisihan antara masyarakat dengan tokoh adat di tingkat desa tersebut Kemudian, dilanjutkan dengan kebijakan investasi yang memberi ruang yang sangat besar kepada pengusaha untuk dengan mudah dan sewenang-wenang mengambil hak atas tanah dari rakyat. 

Konsekwensi dari fakta sejarah diatas semakin mengkristasnya memori  penidasan, kekerasan, kebencian dan kecurigaan pada pihak lain.  Kuat memomiri ini menimbulkan  satu sikap “kita” dan “kamu”, sikap ini  selalu melihat selain dirinya dan kelompok adalah orang lain yang bisa saja merupakan sumber ancaman.  Pilihan berfikirnya hanya dua, pada “kita”  maka yang dilakukan harus waspada dan solidaritas.  Sedangkan pada “kamu”  yang harus dilakukan  curigai, ancaman dan harus diwaspadai. 

Oleh karena itu,  hubungan sosial yang tercita di masyarakat Indonesia tidak akan pernah menyatu dengan kelompok, etnik, agama yang berbeda.  Tetap berinteraksi pada level publik saja,  lalu  mengangap  “kamu” bukan bagian dari dirinya dan  bangsanya.  

Nah, maka penyelesaian konflik di Indonesia tidak akan tuntas jika diselesaikan satu persatu  dari kasus yang muncul.  Konflik di Indonesia harus diselesaikan melalui kebijakan besar dan menyeluruh.  Hal ini bisa dilakukan kalau pemimpinnya memikirakan rakyat.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mantabbs gan... :)

rawa el amady mengatakan...

tq dy


my lovely wife