Menyambut hari guru guru 25 November, saya akan membahas sebuah
pepatah papatah lama “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
Pepatah ini mengisyaratkan bahwa guru
adalah pembentuk sikap muridnya. Apapun yang dilakukan guru akan dicontoh
muridnya. Bahkan untuk kencing berdiri di wc yang pakai urinoir saja tidak
bisa, karena jika kelihatan muridnya, maka muridnya akan kencing berlari-lari
di dalam wc tersebut.
Menurut saya pepatah itu sudah tidak layak lagi dipakai di era sekarang,
dengan beberapa alasan. Pertama, posisi guru bukanlah posisi sentral dalam
kehidupan murid. Era informasi yang terpecah sekarang ini guru
bukan lagi menjadi sistem nilai. Dilihat dari waktu guru bersama murid, tidak lebih dari delapan jam saja murid
disekolah, itupun aktu murid lebih banyak dihabiskan bersama teman-teman. Ini
berarti guru sebagai pembentuk pribadi murid itu tidak benar.
Kedua, hubungan kedekatan anak atau murid
adalah pada ayah, ibu, nenek, saudara dan pengasuh. Bersama merekalah waktu terlama yang
dirasakan anak atau murid tadi. Ketika anak-anak berumur nol tahuan sampai 15 tahun rumah adalah
pantulan nilai yang masuk kememorinya
setiap hari. Sebab itu, prilaku anak,
sikap anak dan kecerdasan anak, kesopanan anak merupakan pantulan dari sikap dan nilai dari ibu, bapak, nenek,
saudara dan pengasuhnya. Sangat tidak
benar, kalau guru menjai panutan utama murid, panutan utama murid ada dalam
keluarga. Tidak ada peran guru disini.
Ketiga, sumber informasi nilai lainnya yang
diperleh anak-anak atau murid adalah infromasi dari teman sebaya. Teman sebaya
sering sekali menjadi alternatif bagai murid dan anak-anak untuk terbuka
tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Komunikasi dengan teman sebaya
tersebut memberi input dan petunjuk tentang
pilihan-pilihan bertahan hidup di masa remaja. Guru, keluar, bapak dan
ibu tidak bisa hadir disini.
Keempat, media informasi, televisi, radia telepon
celuler, internet dengan berbagai fasiltiasnya, surat khabar, majalah dan media
yang dicetak terbatas. Semua media tersebut sangat jelas memasukan berbagai
informasi ke anak – anak. Informasi yang masuk melalaui media in tanpa mampu di
filter oleh anak-anak. Sekali lagi, nilai yang masuk ke anak-anak akan
mempengaruhi sikap dan prilakunya. Sekaligi guru, ayah, ibu dan keluarga sering
tertinggal dalam masalah ini.
Kelima, tokoh idiola. Sangat pasti masa remaja
adalah masa mencari tokoh idiola. Peran idiola ini pada periode waktu tertentu
terhadap pribadi tertentu menjadi sangat penting. Bukan hanya membentuk sikap
dan prilaku, tapi juga rencana masa depan. Penentuan tokoh idiola ini
sangat dominan oleh keempat faktor
diatas. Mungkin saja ada peran guru disini, peran orang keluarga.bacaaan, dan
teman sebaya.
Dari kelima indikasi yang saya sampai diatas, maka “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” sudah tidak pantas
lagi digunakan. Pepatar ini selain terlalu mengaung-agungkan guru, juga
menistakan guru sebagai manusia biasa. Walaupun maksudnya ingin meletakan
guru pada struktur kelas yang tinggi, tetapi
menurut saya sangat berlebihan. Kita juga tahu, bahwa guru juga membisniskan muridnya untuk kepentingan pribadi bahkan demi sertifikasi rela tidak jujur dalam menyediakan makalah.
Atas pentimbangan maka saya ingin sekali menyampaikan bahwa, keluargalah
yang paling berperan membentuk karakter anak. Anak bukan diarahakan harus
begini dan begitu anak harus tetap menjadikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu
adalah sangat penting untuk mengingatkan murid-murid
tidak perlu mengikuti guru, jadilah diri sendiri.
2 komentar:
Betul sekali penafsiran tentang pepatah itu; memang terasa mendegradasi martabat, karena guru dihubungkan dengan urusan ke kamar kecil. Guru bukanlah segala-galanya kalau ia tidak bisa menjadi "guru" yang sesungguhnya. Mungkin kata guru tidak selalu harus kaku penerjemahannya, karena bisa berarti sangat meluas.
Guru-guru kita, walaupun pasti ada satu dua yang luar biasa, pun banyak yang payahnya minta ampun. Apalagi kalau guru yang mengajar karena sekedar pekerjaan, lebih-lebih yang sekadar daripada tidak ada kerja.
Sekarang ini, guru pun sudah sering mengalami realitas yang merosot kualitasnya. Cukup banyak yang betul-betul cinta mengajar, tetapi tidak kurang juga yang sebetulnya masih harus lebih belajar daripada mengajar.
Namun, di Hari Guru ini biarlah kita mengenang apa yang baik. Sama juga di Hari Ibu, saat banyak ibu yang tak lain juga seganas srigala. Ibu-ibu yang baik tetap tak kurang juga---seperti ibu kita.
Salam, Agus Harpe
ya bang saya sependapat bang, sekarang ini kondisi banyak berubah dari dulunya ...
terima kasih bang
Posting Komentar