DEMOKRSI ALA CALEG



Rawa El Amady

Suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian semboyan begitu pentingnya rakyat dana system demokrasi. Tanpa demokrasi maka berlakulah tirani di mana yang berkuasa bertindak sewenang-wenangnya pada rakyat. Melalui demokrasi rakyat bisa menolak politisi dalam proses politik beredemokrasi. Namun pada kenyataannya demokrasi berhadap dengan prilaku politisi yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Pada rakyat yang cerdas, yang sadar akan hak-hak politik dan kewarganegaraannya akan selalu memilih politisi yang berpihak kepada kepentingannya. Tapi pada negara yang media massanya tidak independen dan bisa dibeli oleh politisi dan penguasa,  proses demokrasi tidak akan berjalan. Jadi menurut saya suara rakyat adalah suara tuhan jika medianya independen, rakyatnya sadar hak – hak nya sebagai warga negara dan hukum berlaku secara adil.

Bagaimana di Indonesia? Pada suatu kali diskusi di Media Riau, seorang anggota DPRD Riau dan calon legislatif (caleg) dengan sangat yakin membeberkan beberapa hal agar bisa menjadi anggota DPRD. Pendapat caleg tersebut diamini oleh tiga caleg lainnya  bahwa untuk menang calon legislative harus membawa buah tangan. Jadi setiap turun ke rakyat harus memberi sesuatu, terutama di saat-saat menjelang pemungutan suara, buah tangan harus sampai ke pemilih.  Bahkan sampai ada yang mengaspal jalan.

Bagaimana saya memahami pendapat dari tiga calon legis latif tersebut?  Pertama, caleg tersebut tentu tidak mengerti fungsi partai politik. Fungsi utama partai politik tersebut adalah pendidikan politik rakyat, jika rakyatnya sadar politik dengan demikian sadar akan hak-haknya sebagai warga negara tentu akan memilih wakil rakyat yang  membela kepentingannya. Kedua, partai politik yang memayungi caleg tersebut jelas sekali partai tidak punya idiologi, tidak punya perjuangan kepentingan dalam pembentukan partainya. Ketiga, pemahaman caleg tersebut tentang rakyat adalah rakyat yang bodoh, dunggu dan mudah bodohi, cukup dengan memberi buah tangan kemudian lima tahun menderita karena caleg yang terpilih sudah pasti tidak akan memikirkan pemilihnya dan mengembalikan uang yang habis ketika kampanye. Anggota DPRD seperti ini sudah dipastikan tidak mengerti tugasnya sebagai anggota legislatif.

Apakah yang dilakukan caleg tersebut bisa disebut demokrasi? Secara formal proses pemilihan umum yang melibatkan pemilihan langsung oleh rakyat sudah pasti dipandang sebagai proses demokrasi. Tetapi secara kualitas prosesnya tentu bukan demokrasi, saya menyebutnya “demokrasi ala caleg”. Demokrasi ala caleg adalah demokrasi yang mengabaikan fungsi partai politik dan menterjemahkan demokrasi dengan transaksi perolehan suara. Suara diperoleh karena terjadi transaksi atas buah tangan yang diterima oleh pemilih. Demokrasi bukanlah proses politik untuk memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan rakyat pemilih, tetapi proses demokrasi yang untuk menghasilkan tirani.  Maka selagi demokrasi ala caleg tersebut tetap berjalan, maka proses politik di Indonesia belum menghasilkan pembelaan hak-hak rakyat.

Suatu hal yang perlu menjadi perhatian adalah justeru yang dilakukan oleh para celeg ini, adalah proses pembusukan terhadap demokrasi itu sendiri.  Sebab itu, menurut saya, partai politik harus kembali ke basis idiologi sehingga rakyat bisa dengan mudah memahami kepentingan yang diperjuangkan partai, dan tidak terpecah-pecah kepada orang perorangan. Seperti idiologi Islam, Nasionalis, Demokrat liberal (konsevatif) dan demokrat sosialis. Jadi rakyat merujuk kepada partai mana, dan partai akhirnya mau tidak mau harus mencalonkan orang yang sudah matang dalam memahami idiologi partai terebut. Sekian…

my lovely wife