HAPUS UPAH MINIMUM !!!!


Rawa El Amady

Setiap tahun, setiap bulan oktober dan  november  Indonesia dihebohkan oleh demonstrasi buruh. Buruh punya pekerjaan  tambahan di bulan tersebut melakukan demo besar-besaran. Tuntutan buruh  hanya terfokus pada peningkatan upah minimum provinsi. UMP/K  menjadi pemicu utama demo para buruh setiap akhir tahun.  Setelah itu, pada awal tahun pengusaha mengkerutkan kening, menghitung kemampuan financial dan tentu saja akan mengurangkan jumlah pekerja. 

Kebijakan UMK  mempunyai dampak negative bagi pengembangan wiraswasta dan peningkatan kwalitas pekerja. Saya punya tiga alas an yang menurut saya sangat kuat:

Pertama, kebijakan UMP/K memanjakan buruh yang pemalas. Setiap tahun selalu terjadi kenaikan gaji berkala karena kebijakaan UMP/UMK bukan karena prestasi. Akibatnya akan menurunkan kualitas buruh yang  professional, karena  gaji yang dia terima bukan berdasarkan prestasi atau profesionalitas tetapi berdasarkan kebijakan pemerintah.  Akibatnya bagi yang malas bekerja dan hobinya berpolitik praktis yang mengagas demo untuk kenaikan gaji  terus menerus.   

Apa yang terjadi? Mayoritas generasi muda tidak fokus pada pengembang diri ke dunia usaha tetapi ke dunia kerja. Sebab di dunia kerja dimudahkan oleh kebijakan UMP/K yang dipastikan naik setiap tahunnya. Selain itu, sekali lagi, bahwa terjadinya penurunan kwalitas tenaga kerja karena tidak terjadinya persaingan kwalitas tenaga kerja. Toh yang baik dan yang buruk, yang rajin dan yang malas bisa dipastikan selalu naik gajinya karena kebijakan UMP/UMK. Dari sisi ini kebijakan Ump/UMK berdampak negative.

Kedua, buruh yang demo terus menerus tersebut adalah buruh perusahaan menengah dan perusahaan besar. Buruh perusahaan kecil, usaha kecil, usaha rumah tangga, mau tidak mau terwakili oleh kepentingan  buruh di perusahan besar tersebut.  Kebijakan UMP/K yang perhitungan berdasarkan kemampuan perusahaan menengah dan besar. Akibat perubahan UMP/K terjadi terus menerus setiap tahun maka usaha kecil dan usaha rumah tangga kesulitan merencanakan pengembangan usaha ke depan. Konsekwensi adalah terjadi peningkatan harga produksi karena kenaikan upah. Jika kenaikan gaji diikuti oleh kenaikan harga maka akan terjadi inflasi, itu artinya sebesar  apaun gaji yang diperoleh nilainya tetap sama.  Seharusnya peningkatan gaji tidak diikuti oleh peningaktan inflasi. 

Ketiga, kebijakan UMP/K menjadi arena kepentingan politik rezim. Rezim main mata dengan pengusaha besar dalam penentuan nilai UMP/K. Lihatlah dimana UMP/K rendah pasti tingkat partisipasi politik rendah, rezimnya cenderung otoriter dan korup. Ketika menjelang pemilu maka para politisi ini memanfaatkan momen kebijakan UMP/K ini berpihak kepada buruh sedang pengusaha dirugikan. Kenaikan yang cukup tinggi 44% UMP/K Jakarta tidak terlepas dari gaya kepemimpinan demokratis di Jakarta sekarang ini, pada era Fauzi Bowo  UMP/K jakarja masih 1,5 juta rupiah. Ini berarti kebijakan UMP/K hanya kebijakan yang akan merepotkan buruh, pengusaha dan pemerintah saja setiap tahunnya. 

Dengan tiga alasan diatas sangat kuat keyakinan saya agar kebijakan UMP/K tersebut dihapus saja. Diganti oleh kebijakan yang lebih manusiawi, jangka panjang dan lebih jelas keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat. 

Seorang teman  menuliskan pesannya kepada saya bahwa UMP diperlukan bagi Indonesia untuk membela kesejahteran buruh dari kesewenang-wenangan pengusaha. Memang apa yang disinyalir teman tersebut benar adanya, tetapi tidak mestinya permasalahan kriminalitas yang dilakukan pengusaha kepada pekerja dijawab dengan kebijakan UMP/K. 

Belajar dari perkembangan usaha di Eropah, di Malaysia dan Singapura, seahu saya tikenal adanya istilah upah minimum. Seorang pengusaha memang harus membayar pekerja dengan perhitungan yang rasional, perhitungan kebutuhan hidup pekerja dan perhitungan kemampuan perusahaan. Karena tenaga kerja susah dicari, sebab itu nilai pekerja  menjadi tinggi.  Selain itu, para pekerjapun menawarkan kwalitas yang mumpuni.

 Bagi perusahan, nilai bayaran yang diberikan kepada pekerja harus menguntungkan.  Misalnya kalau saya berani gaji karyawan 5 juta rupiah perbulan, maka karyawan tersebut harus mendatangkan keuntungan bagi saya lebih dari 5 juta rupiah perbulan. Kalau justeru sebaliknya maka pekerjaa tersebut harus diganti.  Kebijakan UMP/K membatalkana rasio perhitungan seperti ini. 

Saya merasa kebingungan juga melihat format kebijakan  buruh ini, karena institusi penanganan masalah buruh ini dipisahkan dengan institusi industry, dunia usaha, koperasi  dan usaha kreatif.  Padahal seharusnya hal itu tidak terpisahkan,  karena tidak mungkin membahas industry, UKM (usaha kecil menengah), koperasi dan usaha kreatif tidak mempertimbangakan buruh sebagai actor utamanya.  Harusnya perencanaan industry, UKM, koperasi, usaha kreatif  dan sebagainya  berada para kerangka pengembangan kwalitas tenaga kerja. 

Indonesia harus membangun industri besar, kecil dan menengah, usaha kreatif dan koperasi yang ditujukan untuk menampung jumlah tenaga kerja yang tersedia.  Pada dasarnya pemerintah harus mampu menyediakan lapangan kerja lebih banyak dari jumlah pekerja yang tersedia. Seperti yang terjadi di Singapura dan Malaysia…..

Malaysia Negara Tanpa Identitas Kultural




Opini . Rawa El Amady 

“Teman saya, bercerita: dia punya pengalaman menarik ketika dari stasiun kereka api naik taksi hendak ke Keduataan Indonesia. Sopir taksi, seorang warga Malaysia dan suku melayu, heran-heran ketika dikasih tahu bahwa dia orang Indonesia. Kata sopir taksi ke teman ku itu, orang Indonesia yang dijumpai di Kuala Lumpur tidak pernah berpakaian rapi dan necis. Teman ku itu menjelaskan bahwa dia bukan pekerja, tapi mahasiswa. Si Sopir taksi malah balik bertanya, “di Indonesia tidak ada universitas ya?” Karena kesal, temanku itu menjawab bahwa satu-satunya orang Indonesia yang kuliah hanya dia sendiri. Si sopir tadi memperlakukan teman ku tadi dengan sopan”
 
Cerita teman saya tadi sangat mewakili pandangan umum warga Malaysia tentang Indonesia. Bahkan lebih dari itu, jika pernah tinggal di Malaysia sudah tentu pernah merasakan sikap sentimen sebagian besar rakyat Malaysia terhadap warga Indonesia. Beberapa dosen bahkan dengan sengaja menceritakan tentang kemiskinan, keterbelakangan, dan pemerintahan Indonesia yang bisa diatur dengan uang “pokoknya bisa diatur”. Begitu juga beberapa mahasiswa pasca yang bertanya apakah di Indonesia ada bioskop, dan sebagainya. Rasanya aneh ya, Malaysia di Indonesia dikenal sebagai negara yang maju bidang ekonomi dan pendidikan, tapi pertanyaan sangat terkebelakang. 

Kalau mau jujur, bahkan diakui oleh Pedana Menteri Malaysia sekarang bahwa dirinya berasal dari Indonesia, begitu juga beberapa raja di Malaysia merupakan keturuanan dari Raja Bugis, Raja Minang, Raja dari Aceh dan seterusnya. Bahkan beberapa tokoh yang sangat disegani di Malaysia dalam bidang pendidikan masih sangat jelas dalam biodatanya menyebut keturunan Indonesia. Tapi kenyataannya generasi kedua dan ketiga yang keturunan Indonesia sangat tidak mengetahui Indonesia. Padahal, dalam kehidupan sehari-harinya kultur keluarganya masih sangat kental budaya Indonesia. Ketidaktahuan tenang Indonesia karena mereka ini dulu berasal dari kampung, miskin dan tidak berpendidikan di pelosok Indonesia. Sehingga kesannya tentang Indonesia sebagaimana kesannya ketika dulu dia meninggalkan Indonesia. 

Suatu kali saya diundang keluarga Malaysia yang keturunan Madura, ternyata tata acara pesta di rumah tersebut persis sepeti perayaan keluarga Madura, padahal keluarga tersebut sudah generasi ke dua.
Suatu kali saya diundang keluarga Malaysia yang keturunan Madura, ternyata tata acara pesta di rumah tersebut persis sepeti perayaan keluarga Madura, padahal keluarga tersebut sudah generasi ke dua. 

Berbeda dengan Amerika Serikat, migran yang datang ke Malaysia dengan tiga alasan, pertama, hubungan kekerabatan khususnya suku Melayu di Malaysia mempunyai hubungan kekeluargaan dengan suku Melayu yang ada di Sumatera, dan Kalimantan, termasuk juga suku bungis yang kemudian banyak menjadi raja di kerajaan Malaysia. 

Kedua, hubungan pekerjaan, dibawa oleh penjajah Belanda terutama yang dari Jawa untuk bekerja di perkebunan di Semenanjung, begitu juga pekerja dari India dan China yang bawa Inggris. Kemudian pada tahun 1980-an, `ketika issu etnis berkembang di Malaysia, migrasi ke Malaysia menjadi issu politik untuk penyeimbang etnis dari China. Pada tahun-tahun terakhir ini, migrasi ke Malaysia lebih dominant atas alasan pekerjaan. 

Ketiga, kehadiran buruh migran dari Indonesia menjadi alat politik bagi etnis melayu untuk menyeimbang kekuatan kuantitas etnis Tionghoa. Kehadiran buruh baik legal mauapun ilegel, secara politik menguntungkan Melayu, secara ekonomi yang memakai tenaga buruh Indonesia adalah etnis Tionghoa. Jelas sekali bahwa buruh migran yang dituduh sebagai penyebar masalah bagi Malaysia harus diakui tidak lepas dari skenario dalam rangka penyimbang politik antar etnis. Jika dari tahun 1980-an Malaysia tidak kedatangan buruh dari Indonesia maka keiseimbangan etnis Melayu akan tergeser oleh etnis china dan etnis India. Tetapi karena politik udara tertutup dan chauvinisme yang dibangun anak-anak dari warga asal Indonesia menjadi tidak mengerti tentang Indonesia bahkan menjadi poin melawan dan membenci Indonesia. 

Latar belakang para imigran ini mempengaruhi watak dan cara pandang warga Malayaisa keturunan Indonesia yang mayoritas di Malaysia mulai dari kelas bawah sampai ke kelompok yang paling elit dipemerintahan. Mulai dari Raja, kementrian dan professor-profesor berasal dari keturunan suku-suku yang ada di Indonesia. Kebijakan Malaysia tahun 1980-an yang memutihkan status kewarganegaraan dari illegal kemudian diberi status kependudukan melalui kartu sebagai penduduk, setelah beberapa tahun memegang kartu diakui sebagai penduduk kemudian diangkat status menjadi warga negara. Sementara itu, sejak bermigrasi ke Malaysia informasi tentang Indonesia tertutup. 

Malaysia mulai membangun pondasi bernegara dengan basis dasar ekonomi, membangun landasan politik udara tertutup, dan chauvinisme Malaysia. Kita bisa memaklumi mengapa Malaysia memberlakukan kebijakannya seperti ini. Malaysia memang menghadapi masalah kultur berbangsa. Tidak ada kultur dasar berbangsa di Malaysia, setidaknya ada tiga kultur besar di Malaysia, yaitu Melayu, China dan India. Kultur Melayu lebih 80 persen berbasis kultur etnis yang ada di Indonesia, budaya Minang, budaya Jawa, budaya Bugis, budaya Banjar, Budaya Madura dan etnis lain yang ada di Indonesia. Seluruh etnik Melayu diikat dalam satu civiliasi Islam, untuk memperkecil konflik diatur masyarakat dalam sistem dua sistem besar Islam dan non Islam.
 
Malaysia perlu melihat problem ini, dengan jalan mengurung budaya mereka ini sebagai budaya asal di Malaysia. Ketika terjadi konflik budaya reog ponorgo dan beberapa tari, serta nyanyian daerah diakui sebagai budaya mereka, sumbernya adalah terputusnya informasi tentang asal keturunan mereka. Pemerintah Malaysia berhasil menjadikan warga yang berasal dari Jawa mengerti mereka berasal dari Jawa tetapi tidak begitu mengerti kalau Jawa itu bukan di Malaysia atau memutus informasi bahwa budaya yang mereka anut berasal dari budaya Jawa yang ada di Indonesia. Informasi tentang Indonesia sangatlah terbatas diketahui, bahkan generasi pertama yang ke Malaysia hanya punya informasi tentang Indonesia hanya sebatas desa tempatnya berada dan pengalaman sepanjang jalan menuju Malaysia. 

Kehadiran buruh migran dari Indonesia yang seakrang dituduh sebagai penyebar masalah bagi Malaysia harus diakui tidak lepas dari skenario dalam rangka penyimbang politik antar etnis. Jika dari tahun 1980-an Malaysia tidak kedatangan buruh dari Indonesia maka keiseimbangan etnis Melayu akan tergeser oleh etnis china yang sudah pasti bisa bergabung dengan etnis India. Tetapi karena politik udara tertutup dan chauvinisme yang dibangun anak-anak dari warga asal Indonesia menjadi tidak mengerti tentang Indonesia bahkan menjadi poin melawan dan membenci Indonesia. 

Untuk membangun identitas dan budaya bangsanya, malaysia tidak ada pilihan, kecuali mengungkung warga dari informasi dari luar melalui kebijakan langin tertutup, otoriter terhadap media dan masyarakat sehingga media memberitakan yang baik-baik dan hebat-hebat tentang Malaysia. Sebaliknya memberita yang jelek-jelek tentang negara lain terutama Indonesia. Secara internal masyarakatnya tidak ada yang bisa dibanggakan oleh Malaysia, raja-rajanya, menteri-menterinya tokoh ilmuannya umumnya berasal dari keturunan Indonesia. Mereka tidak pernah berperang, merdeka dengan mudah dihadiahi Inggeris jadi tidak ada sejarah patriot yang bisa disampaikan kepada anak cucu mereka. Secara etnis mereka tersaingi oleh etns china

Kalau orang Indonesia memandang kesamaan antara Malaysia dan Indonesia adalah sikap yang salah besar, pilosofi serumpun bagi Malaysia adalah serumpun bambu, yang berarti serumpun bambu tidak mesti sama. Malaysia harus jadi batang bambu yang tinggi dan besar tidak peduli batang bambu nya itu mengurangi bahkan menyebabkan rumpun bambu yang lain mati. Bagi malaysia konsep serumpun itu baru berguna jika menguntung negara mereka, tidak ada toleransi sedikitpun bagi malaysia kalau itu merugikan mereka bahkan mereka harus mengambil hak batang bambu yang lain agar bisa lebih besar dari batang bambu yang lain.

Konflik Oleh Negara



Rawa el amady

Setiap bulan bahkan hampir setiap hari kita selalu disajikan tanyangan kekerasan antar warga, antar pelajar, antar mahasiswa,  antar kampung, antar suku, antara aliran agama, antar suku, antara masyarakat dengan aparat, kekerasan geng motor dan lainnya.  Persitiwa tersebut hampir merata di seluruh daerah, baik kota dalam hal ini kota jakarta sekalipun apa lagi desa dan pedalaman. 

Para pejabat,  para pengamat dan para pengiat selalu mengambil  kesimpulan  cepat yang berfokus pada kasus per kasus yang sedang  terjadi.  Begitupun penyelesaiannya cenderung bersifat simbolis  hanya melalui proses pertemuan para pemuka masyarakat semata.  Padahal konflik di Indonesia tidak bisa diselesaikan secara simbolis dan parsial.  Penyelesaian secara simbolis berarti membiarkan bibit konflik makin membesar di kemudian hari. Sedangkan penyelesaian secara parsial, tidak akan pernah menylesaikan masalah sesungguhnya, bahkan akan dilelahkan dan memunculkan konflik terus menerus disetiap daerah. 

Konflik di Indonesia adalah konflik struktural, konflik yang sengaja diproduksi oleh negara untuk kepentingan politik dan kapitalisme. Mengapa saya menyatakan bahwa konflik di Indonesia merupakan konflik struktural? 

Pertama,  sejarah kekuasaan di Indonesia adalah sejarah kekerasan dan kebencian.  Sejarah pengantian rezim di era kerajaan di Indonesia  selalu ditandai dengan peperangan dan penindasan terhadap raja-raja yang kalah.  Ditemukan di semua kerajaan di Indonesia yang tumbuh dan berganti ke kerajaan baru karena perebutan kekuasaan. 

Kedua, Sejarah kebencian ini  disambut pula oleh penjajah Potugis, Belanda, Inggris dan Jepang.  Semua penjajah tersebut menanamkan memori penindasan, kebencian dan kecurigaan.  Belanda mengagas politik pecah belah, Inggris yang melakukan kekejamanan pada sejarah pembangunan jalan, jepang dikenal dengan kebengisannya. 

Ketiga,  pada awal kemerdekaan masyarakat dikenalkan pula oleh kekerasan yang dibangun dengan dasar idiologi, Islam, Nasionalis, dan Komunis. Pada tubuh islam sendiri terjadi pula perbedaan mencolok antara muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan garis keras yang berkeinginan mendirikan negara islam.  Sudah antar idiologi tersebut  selalu berhadapan, kemudian di dalam Islam pula antara aliran tersebut juga berhadapan.  Semua ini menjadi sumber utama dari konflik di Indonesia hingga sekarang. 

Keempat, konflik antara militer pusat dan militer daerah, pada awal kemerdekaan panglima-panglima daerah merupakan panglima yang terpisah dengan panglima di pusat.  Panglima daerah ini mememgan kekuasaan penting terhadap sumberdaya ekonomi di daerah. Puncak konflik itu munculnya pemberontakan daerah seperi PRRI, Permeda dan lain-lainnya.  Perebutan antara militer pusat dan daerah ini mempertajam memori kecurigaan, kekerasan dan penindasan karena semakin kaburnya batas antara saudara, musuh dan teman.  Perangan antara militrer pusat dan daerah ini  empunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap penurunan kepercayaan sesama bagnsa, sesama daerah dan sesama suku. Dan tentu meningaktkan kebencian antara etnis karena pada waktu itu panglima yang dipakai untuk menumpas pemberontakan berasal daeri etnis yagn berbeda.  

Selain itu, militer pusat melakukan militerisasi organisasi masyarakat dalam rangka perebutan kekuasaan politik dari rezim sipil Soekarno. Kita mengenal Pemuda Pancasila yang dididrikan oleh  A H Nasution, yang hampir mirim paramiliter, begiktu FKPPI, kemudian organisa karya, di pemerintahan kita mengenal satpol PP yang berfungsi seperti polisi. Selain itu juga didirikan sel-sel organisasi sipil yang dibentuk oleh tentara dan mendapat dukungan sepenuhnya dari tentara. 

Kelima, berkuasanya rezim militer Soeharto.  Soeharto melalui rezim militernya memperdalam memori kebencian sesama bangsa melalui konflik  idiologi memberi kesempatan untuk terjadinya  pembunuhan massal  kepada idiologi berbeda.  Soeharto mempertajam konflik tersebut melalaui perusakan sistem sosial di seluruh Indonesia dengan penggantian model pemerintah terkecil yang berbasis adat menjadi seragam menjadi desa. Tujuannya tidak lain adalah menciptakan ketakutan massal dan eksploitasi sumber daya ekonomi masyarakat, termasuk tanah adat, dan sumber ekonomi lainnya.  Diciptakan tokoh baru yang merupakan perpanjangan tangan rezim yang bisa memperuncing perselisihan antara masyarakat dengan tokoh adat di tingkat desa tersebut Kemudian, dilanjutkan dengan kebijakan investasi yang memberi ruang yang sangat besar kepada pengusaha untuk dengan mudah dan sewenang-wenang mengambil hak atas tanah dari rakyat. 

Konsekwensi dari fakta sejarah diatas semakin mengkristasnya memori  penidasan, kekerasan, kebencian dan kecurigaan pada pihak lain.  Kuat memomiri ini menimbulkan  satu sikap “kita” dan “kamu”, sikap ini  selalu melihat selain dirinya dan kelompok adalah orang lain yang bisa saja merupakan sumber ancaman.  Pilihan berfikirnya hanya dua, pada “kita”  maka yang dilakukan harus waspada dan solidaritas.  Sedangkan pada “kamu”  yang harus dilakukan  curigai, ancaman dan harus diwaspadai. 

Oleh karena itu,  hubungan sosial yang tercita di masyarakat Indonesia tidak akan pernah menyatu dengan kelompok, etnik, agama yang berbeda.  Tetap berinteraksi pada level publik saja,  lalu  mengangap  “kamu” bukan bagian dari dirinya dan  bangsanya.  

Nah, maka penyelesaian konflik di Indonesia tidak akan tuntas jika diselesaikan satu persatu  dari kasus yang muncul.  Konflik di Indonesia harus diselesaikan melalui kebijakan besar dan menyeluruh.  Hal ini bisa dilakukan kalau pemimpinnya memikirakan rakyat.

my lovely wife