Rawa el amady
Sejak reformasi, terorisme menjadi isu penting di
Indonesia. Gerakan teror bagai jamur, konflik antar etnis juga terjadi di
mana-mana. Indonesia terkesan angker dan tidak aman di mata masyarakat
Indonesia sendiri dan dunia. Alih-alih menyelesaikan masalah terorisme dan
konflik, pemerintah lalu menyentuh titik riskan
melalui gagasan sertifikasi ulama.
Melalui tulisan ini, saya secara singkat ingin
menyampaikan dua perspektif, pertama, perspektif sosial kultural masyarakat Indonesia. Perspektif
ini mencoba melihat faktor pendorong
konflik dan terorisme dilihat dari aspek sosial budaya.
Pemahaman
tentang konflik ini tidak semata-mata berdasarkan kepentingan kelompok etnis
saja tetapi juga dipengaruhi oleh cara berfikir dan bersikap dari berbagai
etnis yang ada di Indonesia. Pola
hubungan antar etnis ini dengan sederhana dijelaskan melalui konsep pluralisme
dan multikulturalisme.
Pluralisme bisa disimbolkan dengan sapu lidi.
Di mana masing - masing menyadari mereka berbeda, mereka hanya bersatu dalam
satu ikatan saja. Jika ikatan tersebut pecah maka akan dengan mudah menjadi
sumber konflik. Hal ini disebabkan mereka terpisah dalam satuan politik yang
sama.
Sedangkan multikulturalisme dapat dipahami
secara sederhana dengan symbol anyaman. Mereka menyadari bahwa mereka berbeda
tetapi mereka menyatu dalam rancangan bersama untuk mencapai tujuan yang sama.
Multikulturalisme merupakan kebalikan dari pluralisme, di mana kesadaran satu
ikatan politik yang kuat antara etnis tersebut.
Kondisi
sosial kultural bangsa Indonesia berapa pada posisi pluralism sebagaimana yang
dikemukakan oleh Antropolog Belanda (1948) J.S. Bahwa menurut Furnivall
masyarakat Indonesia yang majemuk secara rasial
hanya bertemu di pasar-pasar. Mereka bergaul tapi tidak
bercampur, setiap kelompok memegang agamanya sendiri, kebudayaan
dan bahasa sendiri, gagasan dan cara hidup sendiri. Masyarakat majemuk dengan bagian komunitas
yang hidup berdampingan tetapi terpisah dalam satuan politik yang sama. (Banks, 1994)
Kondisi
sosial dan kultural ini menjadi modal untuk berkembang biak nya konflik antara
etnis dan antara agama. Masing-masing suku tidak merasa satu kesatuan politik
dengan suku yang lain, begitu juga penganut agama yang tidak merasa satu kesatuan politik dengan agama
lain. Antar mereka masih terekam
memori-memori konflik yang dimunculkan oleh rezim penjajah, melalui julukan-julukan
negatip ke masing-masing etnis dan masing-masing agama. Julukan-julukan
tersebut sebenarnya dimunculkan Belanda untuk memperkuat politik pecah belah “devide
et impera “, adu domba dan kuasai. Namun dalam memori masyarakat julukan
tersebut justeru menjadi mekanisme penghukuman bagi etnis dan agama yang lain.
Sadar
atau tidak, konflik dan terorisme di Indonesia
bukan semata-semata bersumber dari ekonomi dan politik, tetapi
dipengaruhi secara tegas oleh persepsi antara etnis dan agama yang masih sangat
menonjolkan egoisme sektarian (diri sendiri yang terbaik) karena konsep pluralisme. Pluralisme
memudahkan untuk membangkitkan spirit perebutan kekuasaan, yang bukan hanya dia
area etnis dan agama saja, tetapi juga pada area kepentingan-kepentingan
politik golongan yang melewati batas agama dan etnis.
Jika
kita melihat di televisi para politisi saling tuding bahwa yang lain semuanya
salah dan hanya dirinya saja yang benar.
Maka itu harus dipahami bahwa akar masalahnya adalah perspektif sosial kultural
Indonesia yang sangat mengakar.
Kedua perspektif
sejarah politik tentara Indonesia. Perspektif
ini ingin menjelaskan bahwa secara politik tentara di Indonesia masuk ke arena
politik melalui politik instabilitas ini. Profesor Dr. Alfian peneliti LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menjelaskan prilaku politik tentara di
Indonesia melalui teori Gelang Karet.
Teori ini menjelaskan bahwa intensitas politik
tentara ditentukan berdasarkan kepentingan stabilitas nasional. Jika Indonesia tidak stabil kekacauan terjadi
di mana-mana maka gelang karetnya akan mengetat, artinya tentara akan masuk dalam rezim secara ketat dan kuat,
ini terjadi pada tahun 1959 ketika Soekarno diancam bom, pemberontakan daerah
terjadi di mana-mana sehingga Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden yang isi tidak lain memberi ruang yang
besar kepada tentara untuk terlibat dalam politik. Begitu juga, peristiwa 30 September yang
jelas-jelas menjadikan rezim tentara berkuasa penuh lebih dari 32 tahun. Nah
ketika rezim tentara itu jatuh, maka kekacauan di Indonesia mulai terjadi lagi
melalui terror bom.
Berdasarkan teori gelang karet ini, maka bisa
disimpulkan ada kemungkinan kepentingan tentara dalam konflik di Indonesia
setelah reformasi. Mungkin kepentingan
membangun rezim baru dengan cara yang samar. Misalnya pengsiunan tentara
menjadi presiden berikut menteri pentingnnya ada juga dari tentara. Coba anda
bayangkan rezim yang berkuasa sekarang.
Jika dipahami dari dua pendekatan tadi, maka
diperkirakan konflik etnis, agama dan terorisme akan sulit berakhir. Sebab potensi konflik sangat besar, kemudian
pemicunya juga telah terekam dengan baik di memori masyarakat diantaranya melalui
julukan negatif, dan diperburuk lagi dengan masuknya kepentingan politik yang memanfaatkannya.
Jika demikian apakah sertifikasi ulama jalan
keluarnya? Menurut saya tidak, karena tidak menyentuh pada akar masalahnya.
Memang benar dogmatik agama di
Indonesia merupakan ajaran yang disebarkan Belanda melalui antropolog Snouck Hurgronje untuk memperlemah integrasi
sosial dan gerakan politik muslim
Indonesia. Snouck mengalihkan persepsi
ibadah dari kepentingan sosial dan agama hanya menjadi semata-mata kepentingan akherat.
Menurut saya bukan ulama-nya yang disertifikasi, karena
ulama di Indonesia tumbuh dari berbagai kelompok yang masing-masing kelompok juga tertanam
cara berpikir pluralisme. Yang perlu dilakukan adalah membenahi konsepsi tentang
Islam yang bebas dar dokrinnya Snouck. Selain itu yang terpenting adalah, personal-personal yang
akan duduk MUI dari hingga daerah harus mempunyai persyaratan kualifikasi
ke-ulama-an tertentu. Sebab, program
setifikasi ulama akan ditantang secara terang-terangan oleh ulama yang berada
di berbagai organisasi Islam, karena pangkat ulama di dapat setelah menjadi menjadi pengurus organisasi
tersebut tidak selalau diikuti oleh kapasitasnya sebagai ulama sebagai
mestinya. “”””