Kartini Pahlawan Ciptaan Lelaki



Oleh Rawa EL Amady

Pada suatu pertemuan perempuan Riau tahun 1992 yang dihadiri dari Kantor Kementrian Peranan Wanita saya memprotes diberinya gelar pahlawan kepada RA Kartini. Menurut saya, RA Kartini dipaksakan oleh kekuasaan lelaki karena sikap dan tindakan RA Kartini mengekalkan  kekuasaan lelaki. Ada tiga  alasan penting mengapa saya berpendapat demikian.

 Pertama, aktivitas RA Kartini hanya mengajar dilingkungan terdekatnya, tidak pernah berperang sebagaimana yang dilakukan tokoh perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, dan tokoh perempuan lainnya yang turun ke masyarakat untuk mengajar di sekolah  pribumi. Aktivitas ini tentu tetap memberi tempat yang lebih tinggi bagi lelaki.

 Kedua, RA Kartini mengeluhkan masalah keterbatasan perempuan justru kepada penjajah Belanda. Bahkan Kartini terkenal  karena surat-suratnya ke warga Belanda, sehingga menerbitkan bukunya dan menghantarnya ke pahlawan nasional. Tindakan ini memang mencirikan sikap seorang perempuan yang selalu berkeluh kesah.

 Ketiga,  RA Kartini adalah istri keempat bupati rembang dari suaminya secara gerakan perempuan langkah yang diambil oleh RA Kartini menikahi lelaki beristri  dan bersedia menjadi istri keempat  sebagai tindakan yang melukai hati perempuan itu sendiri.  

 Setelah saya menyampaikan pendapat saya tersebut, saya ditangkap oleh polisi dan ditahan di satu ruangan sampai menteri wanitanya memanggil saya dan meminta kepada polisi tersebut agar melepaskan saya. Tindakan ini tentu melegalisasi bagi lelaki untuk beristeri lebih dari satu.

Selain itu, coba kita bandingkan kepahlawanan Cut Nyak Dien, ( 1848 – 6 November 1908 ) seorang pahlawan perempuan dari Aceh 20 tahun lebih dahulu dari RA Kartini, dia merupakan panglima perang dan menentukan syarat kepada Teuku Umar jika ingin menikahinya. Tentu sikap  Cut Nyak Din sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh RA Kartini, yang membuat Cut Nyak Din lebih pantas diperingati sebagai hari perempuan Indonesia. 

Hal serupa juga bisa kita lihat  pada Dewi Sartika ( 4 Desember 1884 - 11 September 1947 ) yang hanya menikah kepada lelaki yang sama visi dengannya sehingga  dan membuka sekolah para isteri. Begitu juga dengan Martha Christina Tiahahu ( 4 Januari 1800 – 2 Januari 1818 ) yang dengan gagah berani ikut berperang di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. 

Tokoh perenmpuan yang paling senior  Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 ) Ketika perang Diponegoro meletus, Nyi Ageng Serang turut serta dan didampingi oleh menantunya Raden Mas Pak-pak yang juga ikut bertempur melawan Belanda. Nyi Ageng bertempur dan memimpin pasukannya dari tandu karena usianya yang sudah mencapai 73 tahun. Setelah 3 tahun ikut membantu Pangeran Diponegoro

Studi perbandingan RA Kartni dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu dan Nyi Ageng Serang sudah cukup menggambarkan betapa kwalitas perjuangan dari RA Kartini tidak mampu mengimpangi kualitas perjuangan dari tokoh-tokoh perempuan yang menjadi perbandingan.  Itu artinya peringatan hari Kartini sebagai hari perjuangan perempuan adalah sangat sumir dan racuni oleh kepentingan idiologi lelaki. Lelaki mengambarkan pahlawan perempuan itu adalah RA Kartini yang rela dimadu, rela dibatasi dan lemah karena hanya bisa curhat kepada penjajah. Sekali lagi, RA Kartini adalah pahlawan perempuan ciptaan lekaki bukan  pahlawan sebagaimana perempuan yang diimpikan pejuang perempuan sekarang.

Melalui tulisan ini, saya menyarakan kepada perempuan untuk merevisi ketokohan perempuan yang menjadi simbol gerakan perempuan nasional. Ayoo kita mulai sekarang.

my lovely wife