Presiden Kelas Politisi Gurem




 M. Rawa El Amady

Sejarah Presiden di Indonesia memang didominasi oleh kepentingan politik praktis. Mulai dari Presiden pertama sampai Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Warna politik praktis tersebut  dapat dibaca dengan mudah tanpa harus menggunkan teori-teori ilmu politik dari berbagai aliran. Presiden kita belum mampu bertindak sebagai negarawan dan pemimpin negara. Baru sebatas politisi kelas gurem. 

Saya sendiri mencoba memahami kebijakan presiden tersebut melalui analisa berbasis masalah. Analisis berbasis masalah dalam pemahaman saya adalah sebuah kebijakan yang dimunculkan atas dasar inti permasalahan  yang dihadapi. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah masalah sebenarnya  dihadapai bangsa Indonesia?  Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan tersebut adalah tujuan berbangsa dan bernegara, bukan tujuan  politik praktis apalagi tujuan pribadi.

Kita lihat, apakah masalah terbesar yang dihdapai bangsa Indonesia pada tahun 1955 hingga 1959? Tentu semua kita tahu, bahwa masalah terbesarnya adalah konflik politik antar aliran, dan gerakan politik TNI. Presiden pertama Soekarno, menjawab problem tersebut dengan  melakukana kudeta politik melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini bisa dikatakan sebagai kudeta terhadap hak politik sipil, melalui kekuasan sepenuhnya ditangan Presdien yang mengandeng TNI. Sejak dekrit 5 Juli 1959, TNI secara resmi masuk politik dan Soekarno menjadi kekuatan otoriter untuk mematikan politik sipil yang sedang berkembang.

Bisa dilihat, akibat dekkrit Presiden, terjadilah konflik nasional, tentara memobilisasi kekuatan sipil berhadapan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Masayarakat sipil yang sektarian diadu dengan kekuatan sipil lain (PKI) guna membuka ruang kekuasaan otoriter Soeharto yang di back up tentara.

Negara otoriter Orde Baru merupakan bentuk konkrit dari rezim Soeharto yang mengabaikan tujuan bernegara. Tentu pandangana  otoriterisime Orde Baru tidak ada yang bisa membantahnya, termasuk dominannya kepentingan pribadi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Indonesia dibawah presiden sipil  memulai jalan untuk menuju kehidupan bernegara, Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang mengerti betul dengan permasalahan yang ada di Indonesia  lalu mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapai.  Kebijakan penting yang dilakukannya adalah otonomi daerah seluas-luasnya, kebebasan pers, peletakan dasar-dasar penegaakan hukum.

Sayang sekali,Habibie harus berhadapan dengan mayoritas politisi ingusan yang mengurus diri sendiri saja belum bisa, apalagi berpikir untuk kehidupan bernegara. Mayoritas politisi hingga saat ini, bahkan berfikir secara kepentingan politikpun belum, tapi masih berfikir diarea pribadi. Bisa dibayangkan jika Presiden ketika iitu bukan Habibe kebebasan pers tidak seperti sekarang, perkembangan daerah tidak secepat sekarang, perebutan kekuatan tidak semeriah sekarang, dan pemberantasan korupsi tidak seheboh sekarang, begitu juga perubahan civilisasi tidak secepat sekarang.

Presiden Gusdur walaupun sebentar tapi Gus dur bisa membaca faktor penghalang demokrastisasi. Gusdur justeru memperkuat demokratisasi yang digelontorkan Habibie dengan mempertajam aspek multikulturalisme yaiitu membuka gembok pembatasan etnis minoritas dalam hal ini keturanan Tionghoa. Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Program Penguatan Kecamatan.

SBY  Presiden sipil tapi purnawirawan sudah berkuasa 7 tahun. Sejak tahun pertama berkuasa, saya tidak melihat pernah memahami permasalahan dasar di Indonesia  sekarang. SBY masih sangat terpaku pada masalah di awal reformasi. Padahl masalah itu bukan masalah utama lagi, masalah sudah diselesaikan Habibie, Gus Dur dan Megawati, sementara yang diperlukan SBY adalah operasionalisasi lebih konkrit dari pemecahan masalah yang sudah dibuat.

SBY terperangkap pada jebakan politisi senayan, karena takut pengalaman Habibie, Gusdur bahkan Megawati terulang pada dirinya. Mulai dari pembentukan kabinet dan kebijakan yang dibuat oleh SBY belum berbasis masalah, tetapi berbasih kepentingan politik praktis semata.  Lihatlah pada pengantian menteri minggu ini, SBY benar-benar diperangkap oleh kepentingan politisi di senayan bukan untuk menyelesaikan masalah.

Menurut saya, permasalahan Indonesia bukan terletak dikabinet dan politik kepentingan partai, juga bukan masalah dana. Masalah terbesarnya Indonesia adalah konflik perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten. Pusat mau disebut pro rakyat sehingga merencanakan pembangunan semua lini dari pusat sampai desa, prilaku tersebut diikutipula oleh provinsi dan tentu saja oleh kabupaten. Semua sama-sama mengklaim membangun untuk rakyat, tapi semua sama-sama mengklaim kekurangan biaya untuk membangun.

Menurut saya,  harusnya starting point SBY dari sini, jika konflik perencanaan pembangunan ini berakhir, maka efisiensi akan mampu  menyelelsaikan masalah keuangan dan tambahan hutang, Diperkirakan juga akan berakibat positif terhadap masalah hukum khususnya korupsi akan berkurang karena lahannya ajuga berkurang,. Selain itu dampak pentingnya adalah keberingasan politisi juga akan mereda karena area politiknya semakin jelas dan konflik pemerintahan pusat dengan provinsi dan kabupaten juga akana berkurang.

Sudah pada waktunya yang mengaku petinggi berfikir bahwa persatuan dan kesatuan tidak lagi berarti sentralisasi, tentu persatuan dan kesatuan berarti pemerataan kekuasaan dan pemerataan kesejahteraan. Dengan demikian, kita mulai memasuki fase berlajar hidup berbangsa dan bernegara, yang tentu lebih tinggi martabatnya daripada berpolitik praktis melulu.

Semoga.

Perempuan Desa Semakin Dipojokan


Masuknya Industri di desa menyebabkan posisi perempuan semakin marjinal, dan dieksploitasi. Selain kehilangan  status sosial komunalnya, perempuan sering kehilangan suaminya karena harus bekerja di kota sebab di desa tidak tersedia pekerjaan lagi. Perempuan desa di kawasan industri mengalami domestikasi yang semakin tajam. Pembentukan kota baru di karena industri justru mempunya sisi gelap, terutama pada perempuan.

Menurut Marx, hubungan sosial dilandasi oleh hubungan sosial produksi, yaitu suatu usaha sistematis dari mereka yang menguasai produksi untuk menyerap surplus yang dihasilkan oleh produsen. (Ratna Saptari 1997). Pihak yang menguasai sumber produksi adalah kapitalisme internasional melalui perusahaan multinasional. Hubungan sosial produksi dimulai dari eksploitasi hutan-tanah pertanian penduduk, yang menyebabkan penduduk tidak bisa lagi bekerja di sektor agraris.

Perubahan sumber ekonomi pertanian pedesaan menyebabkan terjadi perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik. Perubahan pekerjaan dan privatisasi hak milik ini menyebabkan bergesernya fungsi perempuan dari memegang peran yang sangat berpengaruh secara komunal menjadi semata-mata bekerja secara domestik dalam rumah tangga. Akibatnya perempuan dikontrol oleh lelaki secara ekonomi dan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Pengontrolan dan domestikasi terhadap perempuan memang merupakan langkah sistematis dari kapitalisme. Ini disebabkan domestikasi dan perubahan perkejaan perempuan dari pertanian ke upahan justeru menguntungkan kapitalisme (Mansour Fakih, 1996).


Pertama, domestikasi atau eksploitasi pulang rumah. Dalam hal ini, perempuan diletakkan sebagai buruh oleh lelaki di rumah tangga. Eksploitasi perempuan di rumah tangga akan membuat buruh lelaki yang dieksploitasi di pabrik-pabrik bekerja lebih produktif. Lelaki tidak lagi memikirkan pekerjaan di rumah tangga dan tangung jawab terhadap anak. Lelaki terfokus bekerja di pabrik untuk mendapat penghasilan yang sebanyak-banyaknya karena fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang bertangung jawab penuh terhadap ekonomi rumah tangga.

Kedua, karena perempuan dieksploitasi oleh suami, maka perempuan juga akan mengalami eksploitasi reproduksi buruh. Hal ini terjadi karena perempuan bertugas untuk melayani suami maka fungsi reproduksi buruh akan lebih dominan. Dampaknya adalah jumlah anak akan banyak dengan demikian jumlah buruh akan melimpah. Jika jumlah buruh lebih banyak maka sudah jelas menyebabkan pasar buruh akan lebih murah. Jika tenaga kerja murah maka sudah jelas akan sangat menguntungkan kapitalisme.

Ketiga, pada keluarga miskin perempuan angraris harus merubah pekerjaannya dari pekerjaan sektor pertanian berubah ke buruh upahan. Masuknya perempuan sebagai buruh upahan akan menciptakan lebih banyak buruh cadangan. Banyaknya buruh cadangan ini menyebabkan pasar buruh semakin murah, semakin murah pasar buruh akan berdampak terhadap pasar buruh perempuan. Oleh karenanya multinasional akan memilih perempuan sebagai buruh karena upahnya yang sangat murah. Terutama sekali perempuan muda dan belum kawin.

Kenyataan tersebut menyebabkan posisi perempuan dalam sistem kapitalisme cenderung kontradiksi. Pada keluarga kaya perempuan di bawah kekuasaan suami baik secara ekonomi maupun secara sosial. Pada keluarga miskin perempuan dieksploitasi oleh kapitalisme karena perbedaan seksualitas. (Ratna Saptari 1997)

Berdasarkan pandangan diatas kapitalisme melalui perusahaan multinasional akan melakukan gerakan sitematis kepada dua pilihan diatas terhadap perempuan agraris. Pertama melakukan gerakan domestikasi dengan menekankan buruh lelaki di pabrik sedangkan perempuan desa yang tidak mempunyai keterampilan akan diperkerjakan oleh lelaki di rumah.


Pilihan pertama ini sebenarnya lebih mudah untuk dilaksanakan mengingat kultur dan sistem sosial yang masih bersifat patriakal yaitu kekuasaan berada ditangan lelaki. Apalagi perempuan pedesaan masih sangat patuh kepada aturan sosial patriakal tersebut.


Kedua, mengambil perempuan untuk dijadikan buruh upahan dengan gaji yang sangat rendah. Langkah ini terutama sekali diambil untuk pekerjaan dipabrik atau pekerjaan pemeliharaan di perkebunan. Langkah ini memang memberi kebebasan kepada perempuan secara ekonomi dan mungkin juga penghasilannya, tetapi belum tentu secara sosial. Sementara perempuan tetap dieksploitasi oleh sistem kapitalisme.

Posisi perempuan dalam sistem produksi tahunan ini adalah pada reproduksi rumah tangga, penanaman, penyiangan, pemeliharaan dan pemetikan hasil, pengolahan dan penanaman kembali lahan. Sementara tugas utama lelaki melakukan pembukaan lahan sampai bisa ditanam. Jika lelaki mau juga terlibat dalam aktivitas penanaman sampai ke pengolahan produk akhir, hanya tugas skunder. Sebab lelaki punya tugas tambahan melakukan pekerjaan bulanan sebagai pekerjaan utama.

Kehadiran industri menyebabkan hilangnya pekerjaan bidang pertanian. Para suami tidak lagi berladang dan meneres karet. Begitu juga sungai dan perkarangan sudah juga tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kehilangan sumber-sumber pekerjaan ini menyebabkan perempuan atau para isteri kehilangan pekerjaan skundernya dahulu. Untuk akses ke industri umumnya mereka tidak mempunyai keterampilan yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri.

Kehilangan pekerjaan skuder ini menyebab perempuan secara otomatis pulang ke rumah. Adapun penjelasan mengapa perempuan di kawasan Industri mengalami proses pulang ke rumah. Para isteri yang bekerja dianggap sebagai cerminan ketidak mampuan lelaki dalam menghidupi keluarga. Ketika para suami mampu menghidupi rumah tangganya dengan menjual tanah, berkebun dan sumber ekonomi baru lainnya, isteri diletakkan kembali kepada posisi status sosial

Selain itu, ternyata kehadiran industri menyebabkan menurunnya pelindungan alat reprodsuksi perempuan akibat prilaku seks yang salah. Kalau dahulu para suami menganut paham monogami atau berhubungan seks hanya dengan pasangannya saja. Tetapi sekarang prilaku hubungan seks menjadi beragam, seoarang lelaki selain berhubungan dengan pasangaanya juga berhubungan seks dengan wanita penjaja seks di lokalisasi.. Siapa yang peduli?***

56% Menginginkan Negara Fideral : Perlu Pioner Gerakan Sistematis Negara Fideral Indonesia



Abstraksi Hasil Survey
M. Rawa El Amady
Judul diatas merupakan sari  dari hasil survey yang dilakanksanakan di FB selama 5 bulan lebih.  Walapun hasil survey tersebut  menunjukkan 56% votter setuju dengan negera fideral dengan berbagai alasan, 34% tidak setuju dengan tiga alasan utama, negara kesatuan terbaik, ragu dengan pilihan jawaban dan ketidaktahuan tentang apa itu negara fideral. Serta 9,8% masih ragu, dari 358 votters.  Selain itu, 10 orang menyatakan tidak memilih dengan alasan tidak mengerti politik dan tidak memilih.

Ada dua hambatan utama yang mendorng penolakan negara federal Indonesia, pertama jeratan dogmatis idiologi yang dipelopori oleh angkatan sebelum tahun 80-an.  Kelompok ini mengunci  kuat gagasan negera fideral Indonesia agar tidak berkembang.  Generasi ini masih akan bertahan selama satu dekade. Posisi mereka ini ada di jabatan politik baik di partai maupun di pemerintahan.  Generasi ini terus menularkan idiologinya kepada generasi yang lebih muda.

 Kedua, issu politik masih bersifat temporari atau kepentingan sesaat. Bisa dibayangkan issu politik yang dikembangkan masih beredar di putaran kebutuhan pokok rakyat, issu idiologi, perebutan kekuasaan dan sentimen kepentingan perorangan.  Hal ini tentu saja didukung oleh kondisi perpolitikan nasional  yang memang belum menghasilkan pendidikan politik yang cerdas.

Disisi lain, keberanian pendapat dari votter masih bersifat silent atau hanya sekedar berpendapat saja tetapi belum mengalang gerakan besar untuk mendorong  negera fideral Indoensia.

Hasil survey sebenarnya sangat mengembirakan karena angka 56% dari 357 votters menyatakan setuju pada negera Fideral , ditambah lagi yang ragu 9.8% yang ragu  bukan karena tidak mendukung negera fideral tetapi ragu Pancasila disandingkan federalisme, atau bahkan ragu apapun sistem di Indonesia akan bermuara pada kepentingan pribadi juga.

Ini berarti mengagas negara Federal akan tidak akan mendapat hambatan yang besar, apalagi didorong dengan makin kuatnya demokratisasi, sistem komunikasi yang semakin lancar.  Namun demikian gagasan ini tidak akan berkembang jika tidak ada motor penggerak yang secara terbuka melakukan gerakan menuju negera federal Indonesia. 

TNI Efisisen Berbasis Struktur yang Strategis


 Rawa El Amady

Tahun 1992 dalam sautu diskusi terbatas saya mengajukan dua hipotesis tentang masa depan keterliabtan TNI dalam politik. Pertama, TNI (ABRI) akan tetap mempertahankan kekuasaan politiknya melalui pendekatan instabilitas nasional. Hasil penelitian saya, bahwa pemberontakan di Indonesia menjadi pintu utama masuknya TNI dalam politik.

Kedua, penggantian pimpinan nasional akan terjadi secara tidak wajar. Ini terjadi karena tingginya konflik perebutan kekuasaan di petinggi TNI. Keadaan ini telah terjadi di beberapa negara dunia yang dikuasai rezim tentara.

Saya ingin sekali memperbaharu hipotesis saya tersebut, karena era reformasi dan demokratisasi sudah sedemikian berkembang. Demokratisasi memberi ruang semakin besarnya kedaulatan rakyat. Semakin besar kedaulatan rakyat maka semakin kecil peran negara, semakin kecil peran negara maka semakin cepat proses terbentuknya tentara professional. Tetapi apakah benar demikian keadaannya. Seharusnya, menguatnya demokratisasi di Indonesia sudah menjadi jembatan emas bagi pimpinan TNI untuk membawa tentara ke tentara professional.

Benarkah demikian? Menurut saya sesuai dengan semangat sejarahnya TNI akan selalu mencari peluang untuk berkuasa di Indonesia. Walaupun bentuknya berubah-ubah, melalui kekuasaan langsung dalam pemerintahan atau secara tidak langsung. Terbukti ketika sipil masuk ke pemerintahan stabilitas pemerintahan tidaklah bertahan lama. Habibie hanya 1 tahun lebih sedikit, Gus Dur tidak tidak sampai akhir jabatan, Megawati hanya walau sampai akhir jabatan tetapi hiruk pikuk politik begitu ganas. Masuknya SBY sebagai presiden secara otomatis ruang gerak tentara dalam politik kembali lagi, walau dalam format yang berbeda dengan orde baru.


Beban sejarah sangat kuat bagi TNI untuk terjun ke politik dan beban itu tidak dihapus begitu saja. Bayangkan sebuah organisasi yang mengklaim paling berjasa terhadap republik ini, lalu dikembalikan ke barak dan tidak dibenarkan menyentuh kekuasaan.

Jika TNI benar-benar mau memposisikan diri sebagai tentara propesional maka ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh tentara:

Pertama, menyerahkan permasalahan politik, bisnis dan pressure group ke menteri pertahanan dan presiden sebagai arena politik dan hukum. Panglima hanya mengurusi internal TNI terutama peningkatan kemampuan teknis, modernisasi peralatan tentara dan peningkatan kesejahteraan tentara.

Kedua, mendefinisikan kembali fungsi territorial. Fungsi territorial dahuluanya merupakan andalan utama secara keorganisasian tentara untuk memperkuat kekuatan politik TNI. Organisasi tentara sampai ke desa-desa bernama Babinsa. Konsep teritorial ini sudah tidak relevan dengan perubahan sistem politik dan undang-undang di era reformasi. Selain itu, Konsep territorial ini bukan hanya mubazir secara fungsional tetapi juga mubazir secara finansial. Berapa komandan dan kantor harus dibiayai. Saya mengusulkan konsep terotorial dirumuskan berdasarkan konsepsi geografis, geostrategis dan geopolitik internasional. Oleh sebab itu, bukan hanya babinsa yang harusnya dihapus, tetapi kodim dan koramil pun harus hanya ada pada daerah strategis saja.

Ketiga, mendefinisikan ulang strategi pertahanan nasional. Selama ini strategi pertahanan nasional lebih fokus ke daratan karena yang memegang peranan adalah TNI AD. Jika Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 80% lautan, ratusan ribu pulau dan jarak yang sangat jauh. Indonesia seharusnya mengandalkan angkatan udara dan angkatan laut bukan angkatan darat. Angkatan darat seharusnya menjadi kekuatan utama pendukung bagi pertahanan Indonesia, sementara kondisi strategis dibebankan kepada Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Belajar dari perang Irak dan Afghanistan yang mengandalkan teknologi, angkatan udara menjadi sangat penting.

Angkatan darat tidak perlu ada sampai ke desa-desa cukup ada ditempat-tempat strategis, seperti di Irian Jaya khususnya perbatasan dengan Papua Nugini, di perbatasan Timur-Timor, di Aceh, di pesisir Sumatera Barat, di pesisir pulau Jawa yang berhadapan dengan laut internasional Bengkalis, Batam dan Maluku. Konsep tetitorial yang berdasarkan dengan pendendakan starategis, maka biaya yang tadinya untuk operasional struktur territorial bisa dialihkan ke peralatan dan kesejahteraan. Selain itu, tentara ditingkat babinsa, koramil, diragukan kemampuan tempurnya karena terlalu lama bersama masyarakat sipil daripada bergaul dengan keahlian senjatanya.

Pertanyaannnya apa tentara mau? Masak iya tentara ada di desa menjaga desa dari hama babi..!!

Warga Desa: Kami Marah Dituding Miskin


Oleh Rawa El  Amady

Suatu kali di tahun 2005,  saya berkunjung ke sebuah desa di Riau, desa tersebut penghasil karet. Pada pertemuan desa, kami memperkenalkan diri sebagai tim konsultan pemerintah daerah untuk menanggulangangi kemiskinan. Ruang pertemuan desa tersebut tadinya penuh dihadiri warga. Tapi  sehabis kami memperkenalkan diri  balai desa tersebut kosong hanya aparat desa yang tersisa. Kepala desa, dengan sopan meminta maaf kepada kami, dan memberi alasan mengapa masyarakat meninggalkan kami. Warga desa di sini tidak merasa miskin, jadi mereka akan sangat marah kalau desa termasuk desa miskin.


Saya cukup gembira mendengar penjelasan tersebut, bagi saya warga desa ini punya harga diri yang membanggakan. Informasi ini tentu sangat bertolak belakang dengan berita di media massa kalau pada era reformasi ini orang berebut menjadi miskin dan bangga mendaftarkan dirinya menjadi warga miskin. Tadinya kami bermaksud tidak menginap di desa ini, karena peristiwa ini kami memutuskan tinggal seminggu di desa. Tujuannya ingin mengetahui virus apa yang menjangkiti harga diri warga.


Singkat cerita setelah satu minggu kami berada di desa, saya mendapat informasi yang betul-betul menarik. Pertama, warga desa ini telah mengetahui sejak orde baru, hingga sekarang bahwa desanya masuk sebagai desa miskin. Kedua, entah dari mana mereka tahu, program kemiskinan kabupaten, provinsi dan nasional juga masuk ke desa mereka.


Ketiga, mereka juga tahu bahwa setiap dinas di kabupaten, dinas di provinsi serta setiap kementerian di nasional juga punya program kemiskisnan yang menjadikan desanya sebagai objek program mereka. Menurut mereka lagi, selama ini mereka tidak pernah merasakan adanya program tersebut masuk ke desa mereka. Bentuk program nya hanya sekali saja bertatap muka dengan warga desa setelah itu hilang tidak ada kabar. Kalaupun ada program yang masuk ke desa, program itu berputar dilingkungan keluarga dekat kepala desa saja.


Keempat, sebagai petani karet, masyarakat di desa ini sudah berkecukupan sehingga mereka tidak pantas di sebut miskin. Memang secara prasarana kesehatan, rumah, wc, tempat mandi tidak sebagaimana rumah di kota, lingkungan social mereka memang lingkugan social desa yang belum tersentuh modernisasi. Bagi mereka secara ekonomi, dan social mereka tidak miskin. Tidak ada wrga desa mereka yang kelaparan, yang ada warga desa hidup sederhana sebagai adanya desa. Satu-satunya yang bisa disebut miskin hanya infrastruktur.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.


Seminggu berada di desa yang “ajaib ini” saya memberikan diri memberi beberapa kesimpulan tentang penanggulangan kemiskinan. Pertama, masing-masing level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota ingin jadi pahlawan bagi masyarakat desa. Ini terlihat pada masing-masing level pemerintahan tersebut berebut membuat program masuk desa agar dikatakan perhatian ke masyarakat. Mereka sendiri tidak mengerti fungsi pada levelnya masing-masing, padahal yang punya desa/ kelurahan itu adalah Kabupaten/kota.


Bagi saya alasan mereka untuk marah sangat beralasan. Tentu mereka tidak mau menjadi objek dari dinas-dinas kabupaten, dinas-dinas di provinsi dan kementerin-kementerian di nasional. Sementara itu, mereka sadar betul bahwa pemerintah hanya memperalat kata kemiskinan untuk membuat program yang diperuntukan bagi kekayaan pejabat korup tersebut.

Selayaknya provinsi dan pusat tidak lagi punya program sampai ke desa tetapi cukup memberi dukungan finansial, penguatan sumber daya manusia, pengawasan dan kemampuan menejemen program. Lebih baik lagi, kalau program penanggulangan masyarakat miskin ini ditangani oleh satu departemen eksofisio yang kantornya sampai ke desa sebagaimana di Afrika Selatan. Nah, masalahnya siapa yang mau memulai kalau masing-masing ketakutan akan kehilangan proyek.

Kedua,, orientasi program. Fungsi Program masih dipandang sebagai bagian dari kinerja satuan kerja, padahal fungsi program adalah penanggulangan kemiskinan. Akibatnya pola fikir yang berkembang di satuan kerja adalah yang penting ada program dan harus ada di setiap satuan kerja. Jika satuan kerja tidak mempunyai program yang bernama penanggulangan kemiskinan maka kinerjanya akan dinilai jelek. Disinilah munculnya ego sektor, orientasi proyek semata. Hasilnya tetap masih minim, masing-masing satuan kerja masih asik pada dirinya sendiri. Akhirnya program tersebut menumpuk di desa tanpa satu penataan yang terkoordinasi/sinkroni dengan baik. Program tersebut bukannya membantu desa tetapi bisa menjadi beban bagi desa. Bahkan terkesan berebut program mengatasnamakan kemiskinan.

Ketiga, sifat program masih ikramental/tambal sulam. Tampak rumah yang buruk maka dibangun rumah, tampak kurang modal diberi modal, tanpak jelek infrastruktur dibangun infrastruktur. Program belum melihat problem struktural dan problem kultural. Dalam persepsi ini, asumsi bahwa masalah kemiskinan berada di desa maka ditumpuklah uang, bantuan dan lain sebagainya ke desa. Padahal pola pikir yang ikramental tersebut merupakan masalah yang harus diselesaikan. Menyelesaikan permasalahan kemiskinan tidak bisa hanya dengan menyelesaikan symptoms - nya saja, tetapi sumber masalahnya harus diselesaikan. Untuk apa program sebanyak itu, tapi masalah kemiskinan tidak terselesaikan? Bukankah lebih baik satu program yang terintegrasi, fokus dengan target yang jelas, dimana semua departemen, semua satuan kerja, semua level pemerintahan berada bergandengan tangan pada satu program tersebut.

Terkesan Negara tidak mau mengurangi kemiskinan, karena takut kehilangan proyek

my lovely wife