Bebas dari Mentalitas Jajahan

Opini rawa el amady

Mentalitas dalam kamus bahasa Indonesia merupakan kata benda yang dipakai untuk mengambarkan keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan. Mentalitas menjadi penentu sikap seseorang ketika merespon, menilai,menghargai dan meletakan status dirinya dalam satu konteks sosial tertentu.

Antropolog Koentjara Ningrat memberi lebel mentalitas menerabas bagi rakyat Indonesia. Sebuah gambaran mentalitas yang semuanya ingin serba cepat, cepat sukses, cepat tekenal, cepat kaya, cepat berkuasa tanpa perlu kerja keras. Mentalitas yang digambarkannya ini sangat dekat dengan prilaku melanggar aturan, korupsi, nepotisi dan dan semangat moralitas yang rendah. Sayangnya pandangan Koentjara Ningrat ini tidak ditangkap secara positif oleh pemeritahan era Soeharto dulu, tetapi justeru menjadi jargon politik untuk mempertahakan kekuasaan.

Saya ingin menambahkan lebel baru bagi sebahagian rakyat Indonesia lebel mentalitas jajahan. Lebel ini saya berikan dengan alasan, bahwa sudah gejala umum kita lihat bahwa rakyat Indonesia kurang bangga dengan negaranya sendiri, kurang bangga dengan produksnya sendiri, kurang bangga dengan apa yang di miliki dan yang paling mengerikan merasa rendah diri dengan warga asing. Bahkan penduduk desa rendah diri pada orang kota dan seterusnya.

Sebenarnya menurut saya ada dua faktor yang membesarkan mentalitas jajahan ini. Pertama, pengaruh moderisme. Medernisasai di timur tidak seperti di barat, sebab modern bukan milik orang timur. Bahkan modernisasi menjadi gerbong penjajahan baru bagi barat. Jika di barat modernisasi ditandai oleh modernitas, tetapi modernisasi di timur ditandai oleh modernisme. Proses modernisasi pula terjadi tanpa diikuti oleh proses pembangunan dan industrialisasi. Ini disebabkan pengaruh kolonialisasi dan wertenisasi yang begitu kuat sehingga tidak bisa membedakan antara yang menjadi inti dari modernisasi dengan akibat yang dimunculkan oleh modernisasi.

Modernisme di timur tidak pula melakukannya secara keseluruhannya. Modernisme di timur lebih mementingkan pada gaya hidup, model pakaian, prilaku sosial dan pendidikan yang mencontoh dari barat.. Pada aspek pendidikan, sistem pendidikan di timur dipengaruhi oleh barat atau pengaruh negara yang menjajahnya. Ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang berasal dari barat, belum berusaha menciptakan ilmu tersendiri yang sesuai dengan keperluan negaranya.

Proses modernisasi di timur berarti membanggakan semua yang ada di barat terutama modernisme barat. Semua yang ada dibarat dipandang baik, semua yang ada di dalam negeri dipandang tidak baik. Bahkan karena semakin mengakarnya moderisme barat tersebut, seluruh yang ada diluar negeranya harus jadi panutan dan pilihan hidup. Maka berbelanja ke Singapura atau Malaysia merupakan kebangaan tersendiri. Padahal produk yang dijual di Singapura diproduksi di Indonesi dan hanya diberi lebel di Singapura.

Kedua, faktor rendahnya kwalitas manusia Indonesia itu sendiri. Sudah diketahu secara umum bahwa dari 230 juta penduduk Indonesia baru, hampir 64 persen penduduk Indonesia tidak dan tamat sekolah dasar. Data ini merupakan gambaran yang jelas bahwa mayoritas warga Indonesia masih sangat rendah kwalitasnya. Jumlah tersebut tentu sudah dipastikan terbatas juga informasi dan pengalaman dan pergaulannya. Walaupun jumlah sarjana di Indonesia lebih dari 30 juta orang.

Kondisi ini diperburuk lagi mayoritas kelas menengah di Indonesia merupakan kelas menengah baru karena lulusan universitas dengan pengalaman yang terbatas, atau orang kaya baru karena koneksitas. Begitu juga para pejabat terutama yang di legislatif kebanyakan dari mereka tadi merupakan rakyat jelata dengan pengeahuan yang terbatas. Mereka-mereka ini masih sangat kental mentalitas jajahannya, sehingga sangat membanggakan

Lebel yang saya berikan ini bukan bermaksud untuk memperburuk cintra rakyat atau manusia Indonesia, ini dimaksudkan sebagai ruang berdiskusi untuk intropeksi diri. Kepada pemerintah seharusnya melihat kritik ini sebagai landasan perumusan untuk perbaikan Indonesia ke depan.

Bisakah kita bebas dari mentalitas ini? Indonesia negara yang besar karena luasnya dan penduduknya memang besar sehingga tidak mudah bagi Indonesia untuk memperbaiki diri secara cepat. Perlu reformasi kebijakan, dari kebijakan berbasis politik ke kebijakan berbasih kwalitas manusia. Pilihanan yang tepat menurut saya adalah perbuhan kebijakan dalam dunia pendidikan. Negara harus menyediakan dana pendidikan diatas 20 persen sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Ini berarti pemerintah perlu menggratiskan semua sekolah, mulai dari TK sampai ke universitas, dan mempenjarkan ayah-ibu yang tidak menyekolahkan anak-anaknya hingga minimal sekolah menengah umum. Tentu kebijakan ini perlu didukung oleh peningkatan jumlah guru dan kwalitas guru yang lebih baik.

Nah, bagaimana pendapat teman2
Pernah diterbitkan di kompasiana sebelumnya http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/22/bebas-dari-mentalitas-jajahan/

Lahan Bisnis Para GURU

Untuk membantu calon siswa dan siswa pemerintah pusat mengeluarkan program BOS dan membebaskan uang pendapaftaran untuk masuk sekolah. Kenyataannya, semua sekolah negeri (yang disurvey) memungut biaya untuk uang baju, buku dan bangku, untuk SD mencapai Rp.200 ribu sedangkan SMP mulai dari Rp 400 ribu sampai Rp.800 ribu, sedangkan SMU mulai dari Rp 1 jt sampai Rp 1,8 jt (hasil investigasa BAP tahun 2006 di Riau). Pungutan ini tetap berlanjut selama menjadi siswa di suatu sekolah. Mungkin inilah sebabnya Room Topatimasang menyebutkan sekolah hanya untuk orang kaya, jika miskin tak mungkin mampu menyediakan dana sebesar itu.



Lahan Bisnis di Sekolah
Hasil investigasi (mewawancarai orang tua murid) Badan Advokasi Publik (2006) dijumpai beberapa praktek bisnis yang dijalan pihak sekolah;

Pertama, sekolah sebagai tokok pakaian dimana guru bertindak sebagai pedagang pakaian. Pihak sekolah menjadi pedangang pakaian ke anak-anak muridnya, sehingga seluruh pakaian sekolah harus beli di sekolah. Pakaian termasuk sepatu, baju, baju olah raga, baju melayu, topi, dan pernak-pernik lainnya. Ini disebabkan ada aturan bahwa wajib pakaian seragam.

Kedua, sekolah sebagai tokok buku dimana guru bertindak sebagai pedagang buku, pihak sekolah mewajibkan murid-muridnya membeli buku di sekolah bermacam buku, buku terbitan Jakarta, terbitan lokal, dan termasuk juga alat tulis. Satu keluarga miskin di Sri Merantik Rumbai Pesisir membatalkan anaknya masuk sekolah dasar karena harus membeli buku dan baju dan harus bayar lunas. Padahal peraturan pemerintah melarang sekolah menjual buku.

Ketiga, pedagang bangku, setiap anak yang baru masuk terutama bagi yang baru pindah dari sekolah lain diwajibkan oleh pihak sekolah membayar uang bangku yang nilianya mencapai Rp.300 rb, padahal bangku dan kursinya sudah ada.

Keempat, pengumpul pernak pernik sekolah seperti hordeng, penghias pintu, bunga plastik dan hasil karya tangan lainnya yang bisa memperindah sekolah. Bagi sekolah baru murid dibebankan secara bersama membeli kebutuhan sekolah tersebut. Caranya melalui pelajaran hasil karya anak-anak, anak-anak diwajibkan membawa sesuatu sebagai karya tangan lucunya lebih disarankan dibeli. Sumbangan siswa tersebut diakui sebagai milik sekolah.

Kelima, sekolah sebagai pengusaha EO (event organizer), dimana pihak sekolah mengadakan acara besar-besaran khususnya untuk perpisahan. Bayangan sekolah bisa siaran tunda di televisi atau jalan-jalan ke luar daerah, dan menyediakan hadiah untuk para guru dan sekolah sementara biaya dibebankan ke siswa.

Keenam, sekolah sebagai pengusha bimbingan belajar. Sekolah memaksa murid untuk ikut bimbingan belajar harus membayar dari pelajaran yang seharusnya diajarkan pada waktu jam sekolah. Ini menandakan bahwa guru sengaja mengurangi capaian pelajaran di di jam sekolah agar ada alasan untuk tambahan bimbingan, karena bimbingan tersebut juga dilakukan guru yang sama.

Selain keenam jenis bisnis tersebut, masih dijumpai di beberapa sekolah favorit melakukan praktek percaloan, bagi siswa yang akan masuk ke sekolah favorit tersebut dengan kemampuan yang terbatas maka tersedia calo yang bisa meluluskan dengan jumlah bayaran tertentu. Untuk tingkat SMU uang yang harus disediakan lebih dari 5 juta rupiah sedangkan untuk SMP dan SD harus menyediakan uang 2 sampai 4 juta rupiah.

Harus diperbaiki

Pemerintah harus melakukan pembenahan secara mendasar, bukan dari sector biaya dan bangunan fisik saja. Fakta diatas menunjukkan bahwa sangat diperlukan perangkat sistematik yang bisa mengawasi prilaku sekolah dan pembelaan hak-hak kepada murid dan orang tua murid. Selama ini, sistem pengawasan itu yang belum terbentuk dan kalau ada murid yang protes maka murid tersebut yang menjadi korban dan belum ada sanksi yang diberikan kepada pemerintah kepada pihak sekolah.


Setidaknya pemerintah perlu melakukan, Pertama, menghapus aturan pakaian seragam. Di luar negeri pakaian seragam itu dipergunakan sebagai indetitas pengawasan kepada murid, jadi selama diluar rumah murid diwajib menggenakan pakaian seragam dan kebanyakan negara tidak mewajibkan pakaian seragam. Penghapusan pakaian seragam ini mempunyai makna positif yaitu meningkatkan sloidaritas social karena rasa simpati kepada yang berpakaian tidak layak. Selain itu, siswa sudah diberi tahu tentang adanya orang yang lebih susah dari dirinya sehingga dapat menciptakan kedisplinan diri.


Kedua, perlu sekali penerapan sistem transparansi sekolah, pemerintah pusat yang sudah mengesahkan UU Tranfaransi Publik, daerah harus segera mengikutinya. Transparansi ini akan menghilangkan praktek calo di sekolah karena hasil ujian diumumkan secara terbuka. Begitu juga praktek lain seperti enam item diatas.
Ketiga, tersedianya fasilitas perlindungan bagi siswa dan orang tua murid yang mengungkapkan tindakan yang tidak bermoral di sekolah.

Ketiganya bisa terlaksana secara baik apabila sudah ada kepastian hukum dan pelaksanaan hukum dan hukum tidak memandang bulu.

my lovely wife